Jumat, 16 Agustus 2013

Spirit Idul Fitri dan Proklamasi (Koran Sindo 17/08/13)

Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang jatuh pada setiap tanggal 17 Agustus tahun ini tidak berjauhan dengan perayaan Hari Idul Fitri. Kedua perayaan tersebut sesungguhnya memiliki pertalian yang sangat erat. Secara historis kita mengetahui bahwa proklamasi kemerdekaan negara ini terjadi pada bulan Ramadhan. Dekatnya jarak perayaan Hari Kemerdekaan dengan Idul Fitri seyogianya kita maknai secara positif. Keduanya memiliki kesamaan nilai yang patut dipegang teguh oleh segenap rakyat Indonesia. Idul fitri merupakan puncak dari ritual ibadah puasa yang berporos pada proses pembebasan (liberasi) umat manusia. Ungkapan sebuah hadis bahwa sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagai pembebasan dari api neraka (itqan min an-nar) menunjukkan hal tersebut. Pembebasan dalam konteks ini bisa diinterpretasikan sebagai pembebasan umat manusia dari berbagai belenggu dan ikatan yang dapat merendahkan derajat kemanusiaannya seperti nafsu syahwat, egoisme pribadi, keserakahan menumpuk harta dan sebagainya. Pada sisi lain, proklamasi kemerdekaan RI yang dibacakan Soekarno-Hatta juga sejatinya merupakan manifestasi pembebasan seluruh rakyat Indonesia. Bukan saja pembebasan dari penjajahan bangsa asing, seperi Belanda dan Jepang, melainkan juga dari berbagai belenggu dan ikatan yang dapat mengerdilkan jiwa dan mentalitas manusia Indonesia seperti belenggu kesukuan, ras, agama dan sebagainya. Dengan kata lain, proklamasi melahirkan manusia-manusia Indonesia yang mencintai satu tanah air, nusa dan bangsa bernama Indonesia. Dengan demikian, baik idul fitri maupun proklamasi kemerdekaan memiliki titik temu, yakni sama-sama menjadikan manusia sebagai individu yang bebas dan merdeka, baik jiwa maupun raganya. Hanya manusia-manusia bebas dan merdekalah yang mendapatkan nilai dan hikmah dari perayaan idul fitri dan proklamsi kemerdekaan dalam makna yang sesungguhnya. Inilah sebenarnya nilai yang terpenting dari setiap kali waktu perayaan hari kemerdekaan tiba. Yaitu bagaimana kita bisa menjadi manusia yang benar-benar merdeka, bisa menentukan nasib hidupnya sendiri tanpa bergantung pada orang lain, dan tanpa adanya rasa takut akan tekanan bahkan ancaman dari pihak lain. Namun sayangnya, seperti yang kerap kita saksikan, perayaan hari kemerdekaan lebih banyak didominasi oleh beragam acara yang bersifat seremonial dan hiburan. Tanpa dibarengi dengan suatu perenungan dan penghayatan yang mendalam terhadap makna proklamasi kemerdekaan itu sendiri. Pembacaan teks proklamasi yang berkumandang pada waktu upacara baik di sekolah maupun instansi pemerintah seolah berlalu begitu saja. Sedikit sekali di antara kita yang mencoba menggalinya secara lebih mendalam dan mengkontekstualisasikannya dalam konteks kehidupan kekinian. The Living Text Salah satu cara untuk dapat menangkap spirit proklamsi setiap kali kita merayakan hari kemerdekaan adalah dengan senantiasa mengkaji teks proklamasi itu sendiri secara dinamis dan progresif. Teks proklamasi kemerdekaan sejatinya menandai sebuah tekad dan semangat rakyat Indonesia ketika itu yang ingin melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Kemerdekaan yang selama ratusan tahun direnggut dari kehidupan mereka sudah saatnya direbut dan dinikmati sebab kemerdekaan adalah fitrah setiap manusia di mana pun ia berada. Oleh karena itu, teks proklamasi menjadi semacam jiwa perjuangan. Bahasa yang digunakan dalam teks proklamasi tersebut sederhana tetapi sangat jelas menyiratkan sebuah cita-cita kemanusiaan yang luhur. Untaian kata-katanya memiliki daya magis yang memesona sehingga kata-kata tersebut senantiasa terngiang-ngiang di telingi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun sudah berlalu selama puluhan tahun, tetapi seolah-olah ia sedang terjadi sekarang. Suara Bung Karno yang begitu berwibawa bahkan terasa begitu nyata. Bagi kita yang hidup di masa kini, yang paling penting adalah bagaimana kita menjadikan teks proklamasi kemerdekaan tersebut sebagai urat nadi dan nafas kehidupan kenegaraan dan kebangsaan kita. Denggan kata lain, teks proklamasi tersebut semestinya dijadikan sebagai the living text. Dalam konteks ini, misalnya, kita dapat mengajukan pertanyaan, sudahkah kita meraih pembebasan diri dan kemerdekaan. Ataukah kita hanya secara fisik merdeka dari penjajahan, tetapi sesungguhnya masih terbelenggu dalam penjajahan bentuk lain yang jauh lebih berbahaya, baik secara ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Pada sisi lain, kita juga tidak perlu ragu untuk menganggap teks proklamasi sebagai teks yang terbuka. Ungkapan “dan lain-lain” dalam kalimat Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain…sebenarnya mengindikasikan bahwa teks ini memberikan ruang yang luas untuk interpretasi bagi generasi penerus. Masalah pemindahan kekuasaan hanyalah sekadar gerbang menuju kemerdekaan, tetapi bagaimana mengisi kemerdekaan itu dengan model kehidupan kenegaraan dan kebangsaan yang relevan dengan jati diri bangsa Indonesia, itulah yang senantiasa dicari dan terus dicari oleh bangsa Indonesia hingga hari ini. Relevansi Bagi kita yang hidup pada masa kini, baik spirit idul fitri maupun proklamsi jelas sangat relevan untuk diejawantahkan dalam berbagai dimensi kehidupan sekarang. Berbagai kecenderungan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita dalam kurun waktu terakhir sungguh menohok jantung kemanusiaan kita. Pluralisme yang terkoyak dengan sejumlah kasus konflik horisontal berbau SARA, misalnya, sungguh sangat bertentangan dengan spirit proklamasi. Betapa ironisnya, di negeri yang dilahirkan oleh spirit proklamasi ini ada sekelompok penganut agama yang tidak dapat melaksanakan ibadah di tempat sucinya. Ada pula sekelompok penganut keyakinan suatu aliran yang dianiaya dan diusir dari kampung halamannya bahkan kemudian dipaksa “bertobat.” Dan masih banyak contoh kasus lain yang kesemuannya memperlihatkan betapa proses pembebasan dan kemerdekaan rakyat Indonesia masih menghadapi kerikil-kerikil tajam. Di sinilah pentingnya spirit idul fitri dan proklamasi kemerdekaan untuk terus digaungkan di republik ini.

Tidak ada komentar: