Rabu, 07 Agustus 2013

Idul Fitri dan Politik Humanis (Republika, 7 Agustus 2013)

Bagi umat Islam, idul fitri merupakan momen yang paling penting setelah menjalani ritual puasa selama kurang lebih sebulan. Ia merepresentasikan sebuah kemenangan dan terutama kesucian diri laiknya fitrah manusia seperti tercermin dalam ungkapan minal aidin al-faizin. Dengan idul fitri manusia seolah ditempa kembali menjadi orang yang benar-benar terbebas dari semua noda dan dosa bagaikan bayi yang baru dilahirkan. Oleh karena itu, tidak heran kalau umat Islam di seluruh dunia menyambut tibanya hari idul fitri tersebut dengan penuh suka cita. Berbagai hal mereka persiapkan untuk menyambutnya dari yang bersifat fisik-lahiriah sampai psikis-batiniah. Meski kerap muncul perbedaan dalam menetapkan hari tersebut di kalangan umat Islam, seperti halnya juga dalam penentuan awal ramadhan, tetapi tidak menghilangkan keagungan dan kesakralan momentum idul fitri. Namun sayangnya ada satu fenomena yang cukup ironis jika melihat praktik pemaknaan umat Islam di negeri terhadap idul fitri. Yakni kecenderungan untuk menjadikan momentum idul fitri sebagai puncak dari semua bentuk ritual selama bulan Ramadhan. Idul fitri seolah-olah merupakan terminal akhir di mana perjalanan manusia berhenti. Dengan kata lain, setelah sampai pada hari idul fitri, di mana sejak itu umat Islam mulai berbuka puasa, pola dan gaya hidup mereka cenderung kembali ke masa sebelum puasa. Seolah berbagai pelajaran dan hikmah yang ditawarkan ibadah puasa selama bulan Ramadhan tidak berbekas sama sekali di dalam kehidupan mereka. Dengan demikian, ada mata rantai yang terputus (missing link) antara praktik kehidupan mereka selama bulan Ramadhan dengan bulan-bulan setelahnya. Seperti yang secara kasat mata terlihat dengan jelas bahwa selama bulan Ramadhan umat Islam berlomba-lomba untuk menampilkan diri mereka sepantas dan sesesuai mungkin dengan momentum puasa. Menjauhi tempat-tempat maksiat, kecenderungan untuk menutup aurat bagi sebagian perempuan seperti diperlihatkan sejumlah selebritas dan berbagai perbuatan baik lainnya menjadi hal yang lazim di bulan tersebut. Tetapi semua itu berhenti ketika idul fitri berlalu. Padahal seharusnya ada semacam kontinuitas yang mesti dilakukan umat Islam setelah mereka sampai pada hari idul fitri dan kehidupan sesudahnya. Ia bukanlah puncak, bukan pula terminal akhir dari sebuah perjalanan. Ia justeru merupakan langkah awal, kawah candradimuka sebagai tempat penempaan umat Islam sehingga menjadi pribadi yang bersih dan suci. Justeru setelah menjadi pribadi-pribadi yang sucilah umat Islam diharapkan mampu mempraktikkan semua pelajaran dan hikmah yang diperolehnya selama bulan Ramadhan tersebut pada bulan-bulan berikutnya. Nilai-nilai kedisiplinan, kejujuran dan kepedulian akan sesama seyogianya menjadi nilai-nilai yang akan terus memayungi denyut nadi kehidupan umat Islam di sepanjang waktu. Politik Humanis Sebegitu agungnya makna idul fitri maka seharusnya bisa menyentuh semua aspek kehidupan manusia termasuk politik. Sudah selayaknya bagi para elite politik di republik ini untuk menjadikan idul fitri sebagai momentum humanisasi politik. Meski kerap menampilkan berbagai hal yang buruk: intrik, kepalsuan, kecurangan dan sebagainya, tetapi politik sebenarnya tidak harus tampil seperti itu. Politik juga bisa tampil berwajah humanis, mengedepankan kepedulian dan kebersamaan sosial. Filsup Plato sendiri menekankan politik pada aspek kebaikan bersama (common goodness). Dalam bahasa agama (Islam) sesuai dengan makna kemaslahatan bersama (al-maslahah al-ammah). Dengan demikian, politik semestinya diorientasikan untuk kebaikan bersama Oleh karena itu, idul fitri sebagai akhir dari ritual puasa yang membawa nilai-nilai kebaikan bersama itu seyogianya menjadi momentum untuk menampilkan politik secara lebih humanis dan manusiawi. Kedisiplinan, kejujuran dan kepedulian akan sesama yang terpancar dari ibadah puasa semestinya juga terejewantahkan dalam praktik-praktik politik di negeri ini. Seperti yang dapat kita saksikan bersama, pada saat bulan Ramadhan kemarin ada kecenderungan dari para politisi atau calon-calon politisi (baca: caleg) memanfaatkan momentum Ramadhan untuk memperlihatkan kepedulian mereka akan sesama. Sebagaian ada yang menyelenggarakan mudik bersama secara gratis dengan menggunakan puluhan bus, ada pula yang membangun posko-posko bantuan di sepanjang perjalanan untuk membantu para pemudik dan sebagainya. Tentu saja semua itu merupakan perbuatan baik karena jelas-jelas menunjukkan kepedulian para politisi terhadap nasib sesama. Masalahnya adalah apakah mereka melakukan itu hanya sekadar meraih simpati publik sehingga apa yang mereka lakukan tersebut bersifat temporer. Ataukah memang merupakan nafas kehidupan politik mereka yang ditujukan untuk mengabdi pada kepentingan bersama. Jika pilihan kedua yang terjadi, tentu merupakan kabar baik bagi dunia politik di Indonesia. Bagaimanapun yang paling menentukan dalam politik adalah siapa yang menggunakannya (man behind the gun). Sedangkan politik itu sendiri hanyalah sebuah cara (means). Maka, kalau yang melakukan praktik-praktik politik adalah pribadi-pribadi fitri yang telah lulus dari proses penggodokan puasa, jelas politik akan berwajah humanis. Inilah hal terpenting dari momentum idul fitri bagi kehidupan politik di republik ini.

Tidak ada komentar: