Senin, 21 Januari 2013

Mengantisipasi Kegaduhan Politik (Jurnal Nasional, 30/12/2012

Hampir semua kalangan menengarai bahwa pada tahun 2013 akan terjadi kegaduhan politik di Indonesia yang bukan tidak mungkin akan mengarah pada instabilitas politik. Prediksi ini sulit dibantah mengingat pada saat itu dipastikan semua partai politik akan menumpahkan segala tenaga dan pikirannya demi meraih kemenangan pada Pemilu 2014. Karena masing-masing mengingingkan kesuksesan, tentu saja bakal rawan terjadi benturan kepentingan di antara mereka: saling sikut, saling jegal, saling menjatuhkan mungkin akan menjadi bumbu dalam politik Indonesia. Intra dan Antar Partai Kalau kita cermati bahwa kegaduhan politik yang sangat mungkin terlihat pada 2013 boleh jadi akan berlangsung pada dua wilayah, yakni intra partai, yaitu adanya gejolak di kalangan internal partai politik (parpol) dan antar partai, yakni pergesekan antar satu partai dengan partai lainnya. Dalam konteks internal partai, ada dua hal yang cukup rawan untuk terjadinya konflik internal. Pertama, masalah pencalegan. Saat ini semua parpol di Indonesia sedang melakukan proses penjaringan caleg untuk dikontestasikan pada Pemilu Legislatif 2014. Masalah pencalegan bagi sebuah partai tidak bisa disikapi secara sembarangan dan asal-asalan, karena caleg-caleg inilah yang nanti bakal menentukan sukses tidaknya partai. Oleh karena itu, partai harus benar-benar mempertimbangkan kualifikasi-kualifikasi yang ideal dari para caleg yang dipilihnya tersebut. Namun sayangnya, justeru dalam pencalegan inilah yang kerap terjadi masalah. Partai terkadang tidak mempertimbangkan aspek kualitas caleg, melainkan lebih melihat pada aspek-aspek lainnya, seperti relasi keluarga, modal finansial dan popularitas. Tidak sedikit kader-kader ideology partai yang potensial justeru tersingkirkan dari pencalegan karena tidak memiliki ketiga aspek tersebut. Akibatnya, tidak mustahil jika pola penjaringan caleg seperti ini akan meninggalkan luka dan sakit hati bagi mereka yang terpinggirkan. Kedua, penentuan nomor urut caleg. Masalah ini seringkali menimbulkan pertikaian di dalam internal partai karena semua caleg pastik menginginkan nomor urut atas atau nomor urut jadi. Meskipun sistem pemilihan pada pileg nanti kemungkinan besar masih menggunakan suara mayoritas, namun tetap saja masalah nomor urut akan diperebutkan para caleg, karena masih menentukan. Pada kenyataannya sangat sedikit, untuk tidak mengatakan, tidak ada sama sekali caleg yang berhasil memeroleh suara sesuai dengan alokasi yang ditetapkan bagi setiap caleg. Sementara itu, dalam konteks antar partai, kegaduhan politik akan terlihat setidaknya pada dua hal. Pertama, ada kecenderungan bahwa antar satu partai dengan partai lainnya saling sandera masalah karena masing-masing memiliki kartu as yang bisa dimainkan. Model buka tutup kasus, terutama kasus-kasus besar, misalnya, kerap dilakukan atas dasar kepentingan politik, bukan pertimbangan hukum. Sekarang saja publik sudah dapat menilai, banyak kasus besar di negeri ini dibuka lebih karena pertimbangan politik. Kedua, kecenderungan saling serang bahkan saling menegasikan antar satu partai dengan partai lain juga sangat mungkin terjadi pada 2013. Sistem multipartai yang diterapkan di sini dan ketidakjelasan perbedaan (diferensiasi) atar satu dengan lainnya akan mudah menjadi faktor pemicu (trigger factor) dari kecenderungan tersebut. Pada level akar rumput (grass root) pertarungan mungkin bisa berlangsung lebih konkret karena biasanya melibatkan fisik. Langkah Antisipasitif Sebagai publik tentu kita berharap bahwa kegaduhan politik tersebut tidak akan berlangsung secara ekstrim sehingga tidak menimbulkan instabilitas politik di negeri ini. Dalam konteks ini, hemat penulis, perlu ada berbagai upaya yang mesti dilakukan, terutama oleh partai-partai politik yang akan berkontestasi pada Pemilu 2014. Tanpa ada upaya antisipatif yang bersifat preventif, kegaduhan politik jelas akan sulit dikontrol. Dalam situasi seperti ini, partai-partai politik setidaknya harus mempertimbangkan dua hal. Pertama, terkait dengan persoalan pencalegan dan penentuan nomor urut, partai hendaknya mengedepankan aspek proporsionalitas. Artinya, jikapun partai sulit menghindar dari tekenan untuk menggunakan aspek relasi keluarga, uang dan popularitas dalam penentuan caleg, maka seyogianya dilakukan secara proporsional. Hal ini bisa diwujudkan antara lain dengan membuat kesepakatan internal partai bahwa caleg-caleg yang memiliki popularitas tinggi seperti caleg dari kaum selebritas, misalnya, ditempatkan pada nomor urut sepatu atau bawah. Sementara kader-kader ideolog partai yang potensial diberikan nomor urut atas. Pada sisi lain, caleg-caleg yang terjaring karena ketiga aspek di atas juga harus diperhitungkan aspek kualifikasi politiknya sehingga bisa meminimalisasi potensi konflik. Di DPR sekarang ada beberapa anggota yang notabene orangtuanya elite partai, tetapi tidak dapat memperlihatkan kapabilitas politiknya. Hal yang seperti ini mestinya tidak boleh terjadi lagi di masa depan. Kedua, partai harus berusaha keras menemukan aspek diferensiasi dengan partai-partai lainnya sehingga publik lebih mudah untuk menentukan pilihannya. Hal ini akan sangat berguna baik pada saat sosialisasi maupun kampanye nanti. Faktor diferensiasi tidak hanya dalam bentuk tagline, melainkan juga termanifestasikan di dalam visi, misi dan program-program yang ditawarkan. Hari ini publik Indonesia masih kebingungan, misalnya, ketika harus membedakan antara Partai Golkar, Partai Demokrat dan pendatang baru Nasional Demokrat (Nasdem). Ketiganya merupakan partai nasionalis dan sama-sama berkomitmen terhadap kerakyatan. Hal yang sama juga terlihat antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN), di luar hubungan dekatnya dengan ormas Islam. Publik kesulitan untuk membedakan antara keduanya. Dalam konteks inilah pentingnya partai menemukan terobosan-terobosan untuk menemukan faktor diferensiasi tersebut sehingga publik akan mudah melakukan identifikasi diri terhadap partai. Sebab, kalau publik sudah dapat melakukan hal tersebut partai akan relatif mudah menjaga mereka sehingga tidak mudah tergiur oleh bujuk rayu partai lain. Padahal bujuk rayu partai inilah yang berpotensi menimbulkan gesekan kepentingan antar partai dan pada akhirnya juga bisa menjurus ke konflik. Alhasil, partai politik tidak dapat berpangku tangan saja untuk menghadapi tahun kegaduhan politik tersebut, karena partailah yang menjadi aktor pemeran utamanya. Saatnya kedewasaan dan kematangan politik partai ditunjukkan ke publik, sehingga publik dengan senang hati akan mengikutinya.

Tidak ada komentar: