Senin, 21 Januari 2013

Konfederasi Partai Politik (Pikiran Rakyat, 22/01/2013

Verifikasi faktual partai politik (parpol) peserta pemilu yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan sepuluh parpol yang lolos sebagai kontestan Pemilu 2014. Sembilan parpol notabene merupakan pemain lama yang kini berada di parlemen dan hanya satu parpol pendatang baru, yakni Partai Nasional Demokrat (NasDem). Keputusan KPU tersebut ternyata banyak menuai protes dari kalangan parpol yang tidak lolos verifikasi. Bahkan saat putusan tersebut dibacakan dalam Rapat Pleno KPU yang dilakukan secara terbuka, sejumlah pengurus parpol yang tidak lolos verifikasi melakukan unjuk rasa di depan kantor KPU. Mereka juga siap melakukan gugatan hukum baik ke Mahkamah Agung (MA) maupun Mahkamah Konstitusi (MK). Konfederasi Terlepas dari hasil verifikasi faktual KPU dan reaksi keras parpol-parpol yang dinyatakan tidak lolos, sebenarnya ada satu hal yang menarik untuk dikemukakan dalam konteks ini, yang sekaligus juga bisa dijadikan salah satu alternatif solusi bagi parpol-parpol tersebut. Yaitu gagasan tentang konfederasi yang beberapa waktu lalu pernah diwacanakan oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Pada awalnya penggunaan istilah konfederasi dalam bidang politik dan kenegaraan ditujukan pada pembagian bentuk-bentuk negara. Dalam perspektif ilmu negara, misalnya, kita mengenal bentuk-bentuk negara: negara kesatuan (eenheidsstaat) seperti negara Indonesia, negara serikat atau federal (bondstaat) seperti negara Amerika Serikat (AS) dan negara konfederasi (statenbond) seperti Yugoslavia sebelum terpecah-pecah dan Swiss, negara yang hingga saat ini masih menerapkan model konfederasi. Secara sederhana negara konfederasi dapat diartikan sebagai gabungan beberapa negara yang memiliki konstitusi sendiri-sendiri tetapi bersepakat untuk melakukan perhimpunan yang longgar. Kata kuncinya adalah bahwa kedaulatan tetap dimiliki oleh setiap negara yang bergabung tersebut, tetapi pemerintahannya yang berdaulat itu bersepakat untuk duduk satu meja membicarakan berbagai kemungkinan kerjasama dan sebagainya. Dengan demikian, dalam konteks parpol konfederasi dapat diartikan sebagai penggabungan dua parpol atau lebih secara longgar di mana-mana masing-masing parpol tetap memiliki platform dan idelologi kepartaiannya, tetapi mereka bersepakat untuk membicarakan berbagai hal sebagai kerjasama. Intinya, jati diri kepartaian setiap parpol peserta konfederasi tidak hilang dan lebur seperti halnya fusi. Konfederasi parpol diyakini bisa menjadi solusi yang cukup tepat dan banyak diterapkan di negara demokratis. Di AS, misalnya, sebenarnya terdapat parpol-parpol kecil, tetapi kemudian berkonfederasi dengan dua parpol besar, yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik. Mungkin banyak orang yang tidak mengetahui sehingga di negeri Paman Sam itu seolah-olah hanya terdapat dua parpol besar tersebut. Sebenarnya ada sejumlah keuntungan politik yang akan didapat parpol-parpol yang tidak lolos verifikasi faktual jika berkonfederasi dengan parpol lain. Pertama, jelas mereka bisa ikut berpartisipasi politik karena menjadi kontestan pemilu. Hal ini tentu lebih menguntungkan ketimbang mereka sama sekali tidak dapat berpartisipasi dalam perhelatan politik. Kedua, para kader parpol-parpol yang tidak lolos verifikasi faktual juga memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi anggota legislatif. Bahkan bukan tidak mungkin banyak kader potensial terdapat di parpol-parpol tersebut yang boleh jadi bisa mengalahkan kader-kader parpol induknya. Apalagi sistem pemilihan di Indonesia sekarang sangat menekankan kualifikasi individual. Ketiga, yang terpenting dari kesedian parpol-parpol tersebut untuk berkonfederasi adalah semakin memudahkan jalan untuk proses penyederhanaan parpol. Salah satu problem ketatanegaraan Indonesia dewasa ini diterapkannya sistem multipartai sementara sistem pemerintahannya tetap menganut sistem presidensialisme. Kita sudah terlalu sering menemukan praktik anomali dalam kehidupan politik di negeri ini akibat ketidakjelasan desain konstitusional tersebut. Semangat parlementarianisme yang ditopang sistem multipartai kerap membuat kegaduhan politik. Oleh karena itu, jika proses penyederhanaan bisa berjalan dengan baik melalui konfederasi besar kemungkinan potensi-potensi tersebut dapat diminimalisasi sedemikian rupa. Apalagi jika konfederasi itu tidak hanya dilakukan parpol-parpol yang tidak lolos verifikasi, melainkan juga oleh parpol-parpol yang lolos terutama yang berada di level kecil dan menengah. Ideologis Namun demikian, terkait dengan gagasan konfederasi tersebut, ada satu hal yang perlu dicermati secara serius. Yaitu kecenderungan parpol-parpol di Indonesia untuk melakukan koalisi pragmatis. Jika konfederasi parpol juga dilakukan secara pragmatis, yakni hanya demi meraih kekuasaan, maka konfederasi yang dibangun mungkin tidak akan kokoh atau rapuh. Memang meraih kekuasaan bukanlah hal tabu, melainkan hal yang sangat biasa di dalam kehidupan politik praktis. Namun menjadikan kekuasaan sebagai motif utama dalam berpolitik, termasuk dalam berkonfederasi, akan membuat politik kehilangan substansinya. Karena itu, basis ideologislah yang semestinya dijadikan motif utama dalam berkonfederasi. Konfederasi yang didasarkan atas kesamaan ideologis tentu akan lebih kuat dan bertahan lama. Sebaliknya, konfederasi yang lebih didorong oleh motif kekuasaan an sich sangat rentan mengalami keretakan. Dengan demikian, alih-alih bereaksi keras terhadap keputusan KPU, lebih baik bagi parpol-parpol yang tidak lolos verifikasi faktual untuk melakukan konfederasi dengan parpol lain.

Tidak ada komentar: