Kamis, 12 April 2012

Pengamen Bisu (Cerpen, Harian Kabar Cirebon)

Bus Damri jurusan Leuwi Panjang-Dago yang aku tumpangi berjalan perlahan-lahan, merayap seperti semut. Jalanan begitu padat apalagi di waktu pagi seperti ini. Penumpang pun berjubel sehingga sebagian dari mereka cuma bisa berdiri. Anehnya meskipun penumpang sudah berjejalan kondektur bus masih saja berteriak-teriak menawarkan jasanya kepada setiap pejalan kaki yang dilewatinya. Dan sebaliknya, sekalipun tahu bus sudah penuh, para calon penumpang tetap saja berebutan masuk seolah takut ketinggalan.
Kalau coba-coba secara iseng ditanyakan kepada para penumpang tersebut kenapa mereka berbuat nekad seperti itu. Pastilah beragam jawabannya.
"Saya sih mengejar waktu, Mas, daripada telat lebih baik berdesak-desakan."
"Wah, Mas, bus damri ini jumlahnya sedikit, kalau saya tidak naik, nunggu bus berikutnya bisa kelamaan."
"Kalau saya sih jujur saja karena bus ini paling murah dibandingkan mobil angkutan lainnya."
Begitulah kira-kira beragam argumen yang bisa dilontarkan para penumpang. Meskipun bisa diperdebatkan, tapi buat apa? Toh itulah kenyataan yang kerap kita saksikan sehari-hari.
“Ah Bandung sekarang sudah tidak ada bedanya dengan Jakarta,” batinku dalam hati. Kusaksikan dari dalam bus sepeda motor, angkot dan para pejalan kaki saling berlomba menyesakki jalanan yang kian ramai saja. Sementara asap hitam mengepul dari setiap kendaraan menambah kian pengapnya jalanan.
Kalau sudah duduk di dalam bus di saat suasana seperti itu, aku biasanya tenggelam dalam lamunan. Kadang aku membayangkan keindahan dan keeksotikan kota kembang di masa lampau yang kini pelan-pelan mulai pudar berganti dengan segala macam kesemrawutan khas kota-kota besar di Indonesia.
"Masih layakkah Bandung dijuluki sebagai kota kembang hari ini?" Tanyaku kepada diri sendiri. "Sedangkan sampah berserakan di mana-mana sehingga menebarkan bau yang tak sedap, lalu di manakah wangi kembang yang membuatnya pantas mendapatkan julukan itu?" Aku terus saja memberondongkan pertanyaan yang aku sendiri tahu tidak ada seorangpun yang mampu menjawabnya termasuk para pejabat kota ini.
Saking asyiknya dalam dunia lamunan kadang aku tidak memperhatikan orang-orang di sekeliling. Para pengamen yang silih berganti naik turun pun kadang luput dari perhatianku.
Namun tidak dengan hari itu. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh seorang pengamen yang lain dari yang lain. Ia seorang anak laki-laki yang berusia kurang lebih tujuh belas tahunan. Dengan bermodalkan kecrekan (beberapa keping tutup botol yang disusun jadi satu dan dipaku pada sebilah kayu) di tangan ia mencoba bernyanyi, namun nyanyiannya hanya terdengar aa uu aa uuu. Ia ternyata bisu. Itulah sebenarnya yang mengagetkanku.
“Luar biasa anak ini, dengan keadaan fisik seperti itu ia masih tetap berusaha mencari nafkah,” kataku kepada diriku sendiri.
"Ah, betapa mulianya anak ini dibandingkan para pengemis yang hanya mengandalkan hidup dari belas kasihan orang lain, sementara fisik mereka sebenarnya masih kuat dan sempurna," gumamku dalam hati.
Namun yang lebih mengagetkanku adalah teriakan beberapa penumpang di sekitarku yang rupanya ditujukan kepada pengamen itu.
“Wah, kalau gak bisa nyanyi, gak usah ngamen dong,” tegur salah seorang bapak-bapak dengan raut muka yang kesal.
“Iya nih, brisik bikin telinga sakit saja,” timpal yang lain.
“Lagian sudah bisu, masih maksa saja nyanyi, hancur kan?” omelan seorang ibu yang di pangkuannya penuh dengan belanjaan.
Namun pengamen bisu itu tidak memperdulikan.
Ia terus saja bernyanyi.
Sampai di tempat tujuan aku masih saja teringat dengan pengamen bisu itu. Ada rasa kasihan, terharu dan kecewa terhadap para penumpang yang begitu tega mengata-ngatainya.
"Ah, mengapa orang-orang itu begitu tega menghina pengamen bisu itu, bukankah dia sedang berusaha sesuai kemampuannya?" Tanyaku pada diri sendiri.
"Andai anak mereka yang mendapatkan penghinaan seperti itu, apakah mereka akan rela menerimanya? Apakah hati mereka tidak sakit? Ataukah orang-orang di kota ini sudah tidak memiliki rasa empati terhadap penderitaan orang lain?" Aku menyerocos saja dengan rupa-rupa pertanyaan di pikiranku.
Bayangan pengamen bisu itu pun seolah tidak mau lepas dariku.
Beberapa waktu kemudian aku menaiki kendaraan yang sama. Aku kembali menemukan kejadian yang serupa. Entah takdir ataupun apapun namanya aku dipertemukan kembali dengan pengamen bisu tersebut.
Seperti biasa tanpa sepatah kata pun ia memulai aksinya. Kecrekan yang selalu setia menemaninya ke mana pun ia pergi dipukul-pukulkannya ke tangan kirinya. Suara a u au mulai terdengar dari mulut bisunya.
“Nih anak gak jera-jeranya udah dikatain dari kemarin masih saja berani ngamen,” hardik seorang bapak dengan muka sewot.
"Lagian apa yang mau kita dengar, suaranya saja gak jelas," timpal yang lainnya.
"Suruh turun saja, sudah panas seperti ini ditambah nyanyian yang enggak karuan lagi," ujar seorang pemuda yang duduk di barisan belakang bus.
Namun seolah tidak peduli dengan semua cemoohan yang ditujukan pada dirinya pengamen bisu itu terus saja melanjutkan aksinya. Selesai sebuah nyanyian ia lanjutkan dengan nyanyian berikutnya meskipun di telinga para penumpang tidak ada bedanya sama sekali, karena yang keluar dari mulutnya hanyalah bunyi aa uu aa uu dan seterusnya.
Aku sendiri yang biasanya tenggelam dalam lamunan kali ini entah kenapa ingin terus memperhatikan aksi pengamen bisu tersebut. Cemoohan para penumpang tidak aku pedulikan sama sekali.
Lama kelamaan aku makin terpesona dengan nyanyian pengamen bisu itu. Anehnya, yang aku dengar bukan lagi bunyi aa uu aa uu seperti biasanya, tetapi justeru nyanyian yang layaknya didendangkan oleh penyanyi normal.
Aku terkejut. Aku mengenali nyanyian yang sedang dibawakan pengamen bisu itu dengan penuh semangat. Ya, aku tahu itu nyanyian Iwan Fals yang sangat terkenal, Bongkar.
Kalau cinta sudah dibuang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan
Ooh ya oh ya oh ya bongkar
Ooh ya oh ya oh ya bongkar

Sabar sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang
Ooh ya oh ya oh ya bongkar
Ooh ya oh ya oh ya bongkar
Ooh ya oh ya oh ya bongkar
Ooh ya oh ya oh ya bongkar

Penindasan serta kesewenang wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan
Hoi hentikan hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan

Di jalanan kami sandarkan cita cita
Sebab di rumah tak ada lagi yang bisa dipercaya
Orang tua pandanglah kami sebagai manusia
Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta

Aku bersorak saking gembiranya. Tidak peduli semua mata para penumpang bus tertuju kepadaku dengan penuh keheranan.

Tidak ada komentar: