Rabu, 31 Desember 2008

Mneyoal Fatwa Haram Golput

Wacana tentang golongan putih (golput) kembali menyeruak ke dalam perpolitikan di tanah air. Adalah ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, yang memicu menghangatnya isu golput ini. Ia meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa tentang haramnya golput bagi masyarakat Indonesia.

Persoalannya adalah etiskah sebuah lembaga keagamaan semacam MUI mengeluarkan sebuah fatwa politik seperti itu? Bukankah hal itu justeru akan berbahaya bagi MUI sendiri karena akan “terjebak” pada ranah politik praktis? Di samping itu, apakah model fatwa semacam itu akan efektif, dalam arti, akan diikuti oleh masyarakat Indonesia? Inilah barangkali sejumlah pertanyaan yang ingin coba dijawab dalam tulisan sederhana ini.


Politisasi Agama

Permintaan terhadap MUI yang notabene lembaga keagamaan untuk mengeluarkan sebuah fatwa politik, hemat penulis, merupakan gejala politisasi agama. Dalam konteks ini, agama yang seharusnya berada pada wilayah sakral diseret masuk ke dalam wilayah profan untuk kepentingan politik sekelompok orang. Agama, dengan demikian, telah dijadikan alat kekuasaan.

Jika agama diperlakukan seperti ini akibatnya agama akan kehilangan misi sucinya sebagai pembebasan bagi umat karena agama telah “terperangkap” dalam jebakan kepentingan kelompok. Dan ini tentu saja sangat berbahaya bagi kelangsungan agama itu sendiri.

Fenomena politisasi agama bukan merupakan hal baru dalam politik Indonesia. Umat Islam Indonesia pernah, untuk tidak mengatakan sering, mengambil istilah-istilah keagamaan yang kemudian diterapkan ke dalam politik praktis. Celakanya penerapannya itu dilakukan demi tujuan-tujuan politis kelompok yang mengusung istilah tersebut. Ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, misalnya, para pendukungnya yang notabene kaum nahdliyin mengangkat istilah bughat (pemberontak) yang pernah digunakan pada masa kekhilafahan Islam ke dalam politik Indonesia. Sayangnya penerapannya itu lebih bernuansa kepentingan politis karena ditujukan kepada pihak-pihak yang menghendaki Gus Dur turun dari kepresidenan.

Istilah hibah juga pernah masuk ke dalam ranah politik Indonesia. Istilah yang bermakna pemberian dari seseorang atau kelompok untuk kepentingan orang banyak (kemaslahatan), seperti untuk masjid, sekolah dan sebagainya itu “dipelintir” maknanya oleh sejumlah politisi Indonesia. Ketika ada sebagian anggota DPR yang diduga korupsi karena penghasilannya jauh melebihi dari yang seharusnya mereka cukup mengatakan bahwa kelebihannya itu adalah hibah dari seseorang. Celakanya, penyidikan pun kemudian berhenti setelah mendengar kata hibah tersebut.


Kontra Produktif

Jika pada akhirnya MUI tergoda untuk mengeluarkan fatwa yang mengharamkan golput, hemat penulis, hal itu tidak akan berlaku efektif. Selain akan memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia yang plural, juga fatwa itu sendiri sesungguhnya tidak memiliki kekuatan mengikat yang bisa memaksa masyarakat untuk mau tidak mau menjalankan fatwa tersebut.

Pada sisi lain, hal tersebut dapat dipandang sebagai tindakan kontra produktif terhadap demokrasi. Bagaimana pun golput merupakan hak warga yang tidak dapat dicegah. Setiap upaya negara atau suatu kelompok yang mencoba menghalangi kebebasan warga dalam mengartikulasikan hak politiknya jelas akan dipandang sebagai tidak demokratis. Meskipun tindakan tersebut bertujuan untuk melibatkan warga dalam politik tetapi kalau sifatnya paksaan tentu akan dianggap bertentangan dengan hakikat demokrasi.

Jika kita cermati golput pada saat ini tampaknya berbeda dengan golput pada masa Orde Baru. Pada masa itu golput pada umumnya lebih dimaknai sebagai sebuah “perlawanan” terhadap status quo. Para aktivis demokrasi di Indonesia memandang bahwa pemilu-pemilu yang dilakukan rezim Orde Baru tidak lebih sebagai kamuflase belaka, sebab pemenangnya sudah pasti partai yang berkuasa (Golkar). Sedangkan dua partai lainnya (PDI dan PPP) dipajang sebagai “aksesoris” belaka. Maka, memberikan suara pada pemilu semacam itu jelas percuma saja, sehingga golput menjadi pilihan yang cukup strategis.

Dalam konteks politik Indonesia masa kini golput agaknya memiliki banyak dimensi. Sebagian dari masyarakat Indonesia barangkali masih ada yang memilih golput berdasarkan cara pandang di atas. Apalagi sekarang ini tingkat ketidakpercayaan politik (political distrust) masyarakat terhadap partai politik (parpol) cukup tinggi. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa banyak pula masyarakat yang tidak memberikan suaranya dalam pemilihan bukan karena alasan di atas, tetapi karena alasan-alasan lainnya. Ada yang bersifat teknis, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih atau lainnya, dan ada pula karena sudah jenuh karena banyaknya pilkada.

Implikasi Negatif

Selain itu, pengharaman golput melalui fatwa bukan tidak mungkin akan berimplikasi negatif baik terhadap pengusulnya, yakni Hidayat Nur Wahid maupun MUI itu sendiri. Pertama, Hidayat akan dipandang sebagian kalangan memiliki agenda politik dengan usulannya itu. Meski ia menegaskan alasan usulannya itu sebagai respons terhadap salah seorang tokoh yang menyerukan golput, tetapi karena ia merupakan salah seorang tokoh yang dinominasikan baik sebagai capres maupun cawapres, tentu orang akan menilainya secara berbeda. Sebab jika ika fatwa itu dikeluarkan ia akan mendapatkan keuntungan politik yan besar, terutama dari suara umat Islam.

Kedua, MUI sebagai lembaga agama akan dipandang melakukan tindakan yang tidak etis karena mau diseret-seret ke dalam politik praktis yang sarat kepentingan. Padahal sejak era Orde Baru berakhir lembaga ini telah menyatakan perubahan paradigma baru, terutama dalam hal keindependenan dari berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu, baik pemerintah maupun kelompok lainnya. Tentu saja jika lembaga ini sampai mengeluarkan fatwa pengharaman golput ia akan dipertanyakan kembali keindependenannya, dan salah-salah ia akan kehilangan nya di mata umat.

Oleh karena itu, untuk menekan angka golput sebaiknya tidak perlu menggunakan instrumen keagamaan. Memberikan literasi politik yang cerdas kepada masyarakat justeru jauh lebih elegan. Sebab dengan pemahaman yang lebih baik terhadap politik partisipasi warga dalam pemilu akan meningkat. Dan hal itu dilakukan dengan kesadaran politik yang tinggi. Itulah sejatinya yang harus diupayakan oleh para elite politik di negeri ini.

Tidak ada komentar: