Rabu, 31 Desember 2008

Caleg Perempuan Pasca Putusan MK

Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), yaitu pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e. Dengan dikabulkannya uji materi tersebut, penetapan calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 tidak lagi memakai sistem nomor urut, melainkan berdasarkan suara terbanyak.
Di antara pertimbangan atas keputusan tersebut adalah bahwa ketentuan pasal 214 huruf a, b, c, d dan e UU No. 10/2008 yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif terpilih adalah calon yang mendapat suara di atas 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP) atau menempati nomor urut lebih kecil, dinilai bertentangan dengan makna substantif dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat 1 UUD 1945.
Kalangan partai politik (parpol) tampaknya menyambut baik keputusan tersebut, apalagi yang sejak awal sudah mengusulkan diterapkannya sistem suara terbanyak pada Pemilu 2009. Namun tidak semua kalangan bersikap demikian. Kalangan perempuan, misalnya, memperlihatkan hal yang sebaliknya. Mereka mandang bahwa keputusan MK tersebut justeru akan membuat perjuangan mereka untuk semakin banyak melibatkan kaum perempuan ke dalam ranah politik seolah sia-sia.

Affirmative Action
Gerakan perempuan Indonesia selama ini terus berupaya “mensejajarkan” kaum perempuan dengan kaum laki-laki di dalam ruang-ruang publik, terutama politik. Berbagai program pengarusutamaan gender (gender mainstraiming) mereka luncurkan demi terciptanya kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. Pendek kata, “keringat” dan “darah” telah mereka kucurkan demi perjuangan tersebut.
Melalui gerakan yang dikenal dengan affirmative action akhirnya kalangan perempuan Indonesia dalam derajat tertentu telah dipandang berhasil. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah keharusan setiap parpol untuk mengakomodasi kuota 30 persen kepengurusan parpol dan komposisi caleg-calegnya. Meskipun tidak ada sanksi tegas terhadap parpol yang tidak menerapkan ketentuan tersebut, tetapi hampir semua parpol dapat memenuhinya, bahkan ada sebagian yang melampauinya.
Memang pada awalnya ada sebagian kalangan yang mempersoalkan ketentuan tersebut, karena dianggap tidak cukup elegan di mana kaum perempuan seolah hanya ingin diberi jatah tanpa suatu perjuangan. Namun dengan logika bahwa selama kesetaraan gender di Indonesia masih sangat timpang maka sulit bagi kaum perempuan untuk berkiprah di ruang publik, akhirnya ketentuan di atas dapat diterima oleh semua pihak. Dalam konteks ini affirmative action seolah telah mendapatkan legitimasi.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau kalangan gerakan perempuan bereaksi keras terhadap keputusan MK di atas. Mereka seolah-olah dihempaskan kembali ke dasar setelah perlahan-lahan merangkak naik. Dengan kata lain, mereka seakan-akan disuruh berjuang kembali dari titik nol seperti ketika gerakan affirmative action belum mendapatkan lahan persemaiannya. Tak kurang, Rieke Diah Pitaloka, caleg dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dikenal vokal terhadap masalah ini, tampak sangat emosional menanggapi keputusan tersebut ketika dimintai komentar oleh salah seorang wartawan televisi.

Ancaman atau Tantangan?
Apakah keputusan MK tersebut pertanda “kiamat” bagi para caleg perempuan? Alih-alih meratapi keputusan yang justeru oleh sebagian besar kalangan terutama mereka yang berada pada nomor urut bawah dipandang adil tersebut, menurut hemat penulis, sebaiknya para caleg perempuan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk pertempuran yang pasti akan sangat melelahkan seraya mempertimbangkan berbagai strategi komunikasi politik yang akan menunjang keberhasilan mereka saat kampanye nanti.
Setidaknya ada dua hal yang mesti diperhatikan oleh para caleg perempuan terkait dengan keputusan MK tersebut. Pertama, menyangkut dengan gaya komunikasi. Selama ini kaum perempuan kerap dipandang lebih mementingkan kulit daripada isi. Penampilan mereka secara fisik jauh lebih diperhatikan daripada penampilan mereka dari segi isi kepala bahkan oleh diri mereka sendiri. Vena Melinda, seorang artis dan pelatih senam yang kini jadi salah seorang caleg, misalnya, dalam sebuah wawancara pernah mengatakan bahwa ia harus mempersiapkan dua buah koper besar untuk baju-baju khusus jika terpilih menjadi anggota legislatif. Sangat disayangkan jika yang pertama terpikir dalam kepala seorang caleg perempuan hal-hal kulit seperti itu.
Oleh karena itu, para caleg perempuan semestinya bisa mengubah citra tersebut sehingga pandangan masyarakat terhadap mereka juga ikut berubah. Mereka paling tidak menguasai berbagai isu yang berkembang di masyarakat sehingga masyarakat dapat direbut hatinya bukan karena penampilan fisiknya, melainkan karena isu-isu yang ditawarkannya. Memang tidak mudah mengubah hal tersebut. Bahkan di Amerika Serikat yang para pemilihnya dikenal sebagai pemilih rasional (rational voters), pandangan serba lahiriah terhadap politisi perempuan masih juga terjadi. Sarah Palin yang menjadi wapres John McCain pada pemilu AS yang belum lama usai kerap diperlakukan seperti itu. Kaca mata yang dipakai Palin ketika kampanye, misalnya, sempat menjadi tren di kalangan perempuan AS, demikian pula model rambutnya. Sementara isu-isu yang dikampanyekannya mungkin menguap begitu saja.
Kedua, realitas ini seyogianya dipandang oleh para caleg perempuan sebagai sebuah tantangan alih-alih sebagai ancaman. Konsekwensinyanya hal itu akan menuntut mereka bekerja lebih giat dan keras lagi. Dalam konteks ini pendekatan-pendekatan yang lebih personal dengan masyarakat perlu terus dijaga. Oleh karena itu, mereka harus menguasai berbagi persoalan yang tidak hanya terkait dengan kepentingan kaum perempuan saja, tetapi juga yang bersifat umum, yang mencakup semua segmen masyarakat sehingga tingkat elektabilitasnya juga akan lebih luas.
Last but not least keputusan MK tersebut di atas tidak perlu dipandang sebagai palu godam oleh para caleg perempuan. Justeru saatnyalah mereka membuktikan diri kepada publik bahwa mereka pun bisa eksis tanpa ada “bantuan” dari pihak lain. Toh pada Pemilu 2004 lalu, Nurul Arifin, salah seorang caleg perempuan dari Partai Golkar, telah terbukti berhasil mengumpulkan suara terbanyak. Ia memang gagal melenggang ke senayan, tetapi justeru gara-gara nomor urutnya kalah kecil oleh saingannya. So, kenapa mesti resah!

Tidak ada komentar: