Jumat, 07 November 2008

Menyoal Syarat Dukungan Capres

Seperti yang telah sering disebut-sebut oleh sebagian politisi Partai Golkar beberapa waktu sebelumnya dalam berbagai forum, akhirnya partai yang berlambangkan pohon beringin ini melalui fraksinya di parlemen (FPG) secara resmi mengajukan syarat dukungan bagi pasangan calon presiden (capres) sebesar 30% perolehan suara pemilihan umum (pemilu) secara nasional. Dukungan tersebut masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) FPG dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden (RUU Pilpres).

Apa yang dilontarkan FPG ini tentu saja menuai reaksi yang cukup beragam terutama dari kalangan partai politik (parpol). Parpol-parpol medioker umumnya menentang usulan tersebut. PPP, misalnya, terang-terangan mengajukan ketidaksetujuannya dan menghendaki agar syarat dukungan pasangan capres tetap mengacu kepada UU 23/2003 tentang Pilpres dengan alasan bahwa undang-undang ini bahkan belum digunakan pada pemilu 2004 lalu. Demikian pula parpol-parpol lain semisal PAN dan PKS menyuarakan keberatan yang sama.

Yang cukup mengherankan adalah sikap FKB. Pada awalnya fraksi ini dengan tegas menentang usulan syarat dukungan 30% dan mengusulkan agar semua partai politik yang lolos parliamentary threshold bisa mencalonkan pasangan calon presiden. Tujuannya adalah agar masyarakat mempunyai banyak alternatif pilihan. Tetapi dalam finalisasi daftar inventarisasi masalah yang dibahas di parlemen kemarin, FKB justeru sepakat dengan FPG.

Implikasi Politik

Dari sudut pandang politik, syarat dukungan bagi calon presiden sebesar 30% yang diajukan FPG tentu saja akan menimbulkan implikasi sosial dan politik yang cukup serius, baik yang bersifat positif maupun negatif. Implikasi yang positif, misalnya, dengan dukungan 30% suara pemilihan umum secara nasional, sebuah pemerintahan di republik ini akan berlangsung kuat dan efektif. Dus, hubungan pemerintahan sebagai lembaga eksekutif di satu sisi dan DPR sebagai lembaga legislatif di sisi lain akan berimbang, sehingga prinsip check and balance pun dapat diterapkan dengan semestinya.

Apa yang terjadi pada SBY yang diusung Partai Demokrat, yang notabene merupakan partai politik medioker memperlihatkan hal yang sebaliknya. Betapa SBY dalam beberapa kasus tidak berdaya (dibuat tidak berdaya) untuk melakukan komunikasi politik yang seimbang dengan lembaga legislatif. Contoh yang paling mutakhir adalah ditolaknya calon Gubernur Bank Indonesia yang diajukan oleh Presiden SBY oleh DPR, sesuatu yang belum pernah terjadi pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Realitas politik ini tentu tidak terlepas dari minimnya dukungan politik terhadap SBY dari kalangan legislatif yang secara mayoritas diisi oleh wakil-wakil partai politik yang tidak mendukung SBY pada pemilu 2004.

Selain bisa menjadikan pemerintahan kuat dan efektif, syarat dukungan capres sebesar 30% akan menciptakan koalisi permananen di antara parpol peserta pemilu. Parpol seolah-olah dipaksa untuk membentuk koalisi sejak dini, pasalnya dengan jumlah parpol peserta pemilu pada 2009 yang dipandang berbagai kalangan masih terlalu banyak, akan sulit sekali bagi sebuah parpol untuk memperoleh dukungan perolehan suara secara nasional sebesar 30%. Partai Golkar sekalipun agaknya sulit untuk meraih dukungan sebesar itu.

Namun demikian, syarat dukungan capres sebesar 30% pada aspek yang lain tak pelak lagi akan membawa implikasi negatif bagi perjalanan politik Indonesia ke depan. Pertama, sebagai rakyat yang sesungguhnya merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam perspektif demokrasi, kita tidak lagi disuguhi calon-calon pemimpin alternatif; padahal demokrasi senantiasa meniscayakan banyak alternatif pilihan. Hal ini karena bisa dipastikan bahwa yang berhak maju sebagai pasangan capres paling banyak sekitar dua atau tiga pasangan saja.

Kedua, suara-suara yang menghendaki agar pemilu 2009 menjadi arena lahirnya pemimpin nasional dari kalangan muda atau muka-muka baru secara otomatis akan tergerus oleh persyaratan tersebut. Kondisi ini tentu sangat disayangkan, karena pada akhirnya kita akan “dipaksa” memilih muka-muka lama. Mungkinkah parpol-parpol besar seperti Golkar dan PDIP akan memberikan kesempatan kepada kaum muda untuk tampil di pentas nasional? Agaknya hal ini sulit terjadi. PDIP, misalnya, sejak awal sudah menjagokan Megawati Soekarnoputri sebagai satu-satunya capres, sehingga partai ini hanya sibuk mencari cawapres pendamping Mega. Sementara Golkar sebagaimana telah diketahui telah meniadakan konvensi yang pernah diterapkan semasa kepemimpinan Akbar Tanjung. Oleh karena itu, peluang tampilnya tokoh-tokoh di luar partai menjadi sirna. Ini berarti Golkar akan menominasikan ketua umumnya, Yusuf Kalla, sebagai capres atau cawapres.

Ketiga, sesungguhnya tidak ada jaminan yang pasti bahwa dukungan yang besar terhadap pasangan capres secara otomatis akan menampilkan kinerja yang lebih bagus dari sebelumnya. Sebab dengan persyaratan yang besar itu mau tidak mau parpol akan berkoalisi secara besar-besaran. Koalisi semacam ini terkadang cukup rentan sehingga mudah rontok di tengah jalan.

Kenegarawanan

Menurut hemat saya, yang sebaiknya mesti ditampilkan oleh para tokoh dan partai politik adalah sikap kenegarawanan (statesmanship). Sikap kenegarawanan adalah sikap yang lebih menitikberatkan kepentingan negara daripada kepentingan golongan atau partainya sendiri. Sikap inilah yang dewasa ini tampaknya sulit ditemukan pada para elit politik di negeri ini.

Membaca usulan yang telah diajukan FKB di atas ada semacam kekhawatiran bahwa apa yang sesungguhnya ingin diraih oleh fraksi ini adalah semata-mata untuk memuluskan kepentingan partainya dan secara spesifik ketua umumnya, bukan untuk kepentingan negara dalam jangka panjang. Orang pun bisa menilai bahwa usulan ini sekadar taktik belaka. Bukankah dalam berbagai survei atau jajak pendapat tentang capres 2009 nama ketua umum partai ini selalu berada di urutan terbawah? Maka, dengan “menghilangkan” peluang capres-capres pesaingnya yang notabene lebih unggul, peluang sang ketua umum kian terbuka lebar.

Dalam dunia politik hal-hal seperti ini memang sah-sah saja, sebab fraksi adalah kepanjangan tangan dari partai politik. Artinya, di pundak fraksi ada misi yang dibebankan partainya. Namun yang mesti diingat adalah bahwa ketika sudah berada di lembaga legislatif mereka merupakan wakil rakyat. Maka sudah seharusnya mereka senantiasa membaca dan menyelami aspirasi rakyat. Kecerdasan untuk menangkap aspirasi rakyat inilah yang sesungguhnya merupakan kesejatian demokrasi. Dan orang-orang dengan sikap kenegarawanan sejati akan mampu melakukan hal tersebut

Dimuat di harian Koran Jakarta, Selasa 3 Juni 2008

Tidak ada komentar: