Jumat, 07 November 2008

Esensi Yang Terabaikan

Tribun Jabar, Sabtu , 20 September 2008 ,
Esensi yang TerabaikanIDING R HASAN, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung
SEJATINYA media massa, termasuk televisi, selain berfungsi untuk menghibur juga mengemban misi pendidikan bagi khalayak. Sebagai salah satu sarana sosialisasi, peranan televisi sangatlah penting. Berbagai nilai kebaikan sesungguhnya dapat ditanamkan ke masyarakat luas secara efektif melalui aneka ragam tayangannya.
Dalam konteks tayangan acara-acara keagamaan yang umumnya ditampilkan pada bulan Ramadan--sekalipun ada pula yang ditayangkan di bulan-bulan lainnya--tampaknya fungsi yang kedua tersebut belum terpenuhi dengan baik. Kita masih sering menyaksikan acara-acara televisi yang lebih banyak menonjolkan aspek hiburannya sekalipun dibungkus dalam kemasan religi. Tidak heran kalau Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum lama ini memberikan rapor merah terhadap sebagian besar acara televisi yang ditayangkan pada minggu pertama dari bulan Ramadan tahun ini. Simbolistik-Verbalistik Sinetron religi, untuk menyebut salah satu acara keagamaan yang banyak ditayangkan oleh hampir semua stasiun televisi pada bulan Ramadan, pada umumnya terjebak pada simbolisme dan verbalisme keagamaan yang rigid. Ekspresi-ekspresi keagamaan yang bersifat simbolik jauh lebih menonjol ketimbang esensi keagamaan itu sendiri.
Demikianlah sebuah sinetron akan dipandang religius manakala sinetron tersebut kental dengan simbol-simbol keagamaan. Para aktor dan aktrisnya berpakaian Islami (meskipun dalam kesehariannya mereka umumnya sering tampil sebaliknya), ucapan-ucapannya sering menyitir ayat-ayat dari Kitab Suci, setting ceritanya dekat dengan masjid, dan sebagainya.
Sementara itu, kalau kita memerhatikan dengan saksama, alur ceritanya acapkali terasa dangkal, terkesan dibuat-buat, tidak realistis, menggurui, dan menyederhanakan persoalan. Misalnya dalam sebuah sinetron, seorang tokoh protagonis digambarkan luar biasa sabar dan pemaaf; sebaliknya tokoh antagonis digambarkan sedemikian jahat, penuh dengki, iri hati, dan sebagainya. Apa pun bisa dijadikan alasan untuk mencelakai si tokoh protagonis. Dan di akhir cerita, si penjahat biasanya menyadari kekeliruannya.
Sedemikian sederhanakah persoalan antara kebaikan dan keburukan di tengah masyarakat? Padahal dinamika yang terjadi dalam realitas kehidupan yang sesungguhnya seringkali memperlihatkan hal yang sebaliknya, begitu kompleks dan sumir. Inilah yang jarang--atau mungkin enggan--digali dengan serius oleh para pembuat sinetron-sinetron religi kita. Mungkin pengecualian bisa dialamatkan kepada sinetron Para Pencari Tuhan (PPT) baik yang pertama maupun jilid dua yang sedang tayang.
Ironisnya, sebagian dari pemirsa--boleh jadi mayoritas--menyukai sinetron-sinetron semacam ini. Fenomena ini, hemat penulis, tidak lepas dari corak keberagamaan masyarakat Indonesia yang memang umumnya juga bersifat simbolistik-verbalistik. Orang Indonesia agaknya lebih menyukai tampilan lahiriah daripada batiniah. Sebagai ilustrasi sederhana dapat digambarkan, misalnya, seorang yang pernah melaksanakan ibadah haji, jika dalam kesehariannya selalu memakai peci putih, akan lebih dihormati dan disegani daripada seorang haji yang selalu menggunakan pakaian keseharian biasa. Padahal boleh jadi perilaku yang pertama itu tidak lebih saleh dari yang kedua.
Mengedepankan Esensi Fenomena di atas selayaknya menjadi keprihatinan kita bersama, terutama para pengelola media televisi. Sinetron-sinetron religi yang banyak ditonton oleh khalayak sudah seharusnya dipersiapkan dengan sangat matang dari berbagai aspek, bukan sekadar untuk mengejar tayang. Kerja sama dengan berbagai pihak yang memiliki concern terhadap masalah ini tentu tidak bisa dielakkan lagi.
Namun pertama-tama, hemat penulis, pemahaman atas makna religiusitas perlu dilihat kembali. Selama ini banyak kalangan, termasuk para pengelola televisi, memahami religiusitas tersebut secara simbolistik an sich. Manifestasi dari model pemahaman semacam itu terepresentasikan dalam berbagai tayangan keagamaan yang sarat dengan ekspresi simbolistik, termasuk sinetron.
Padahal makna religiusitas yang esensial adalah suatu kesadaran kemanusiaan yang dapat menuntun manusia untuk dekat bukan hanya dengan Tuhannya melainkan juga dengan sesamanya dan alam semesta. Maka, makin religius seseorang, makin dekat ia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Dalam konteks inilah sinetron religi itu seharusnya ditempatkan. Sebuah sinetron, meskipun tidak menampilkan simbol-simbol keagamaan, layak disebut religi manakala ia menekankan nilai-nilai kemanusiaan universal. Tema-tema tentang perjuangan hidup, gugatan terhadap ketidakadilan, dan sebagainya dapat ditampilkan sebagai sinetron religi.
Konteks puasa pada bulan Ramadan adalah momentum yang sangat tepat untuk menampilkan sinetron-sinetron religi yang menonjolkan esensi keagamaan, sebab puasa sejatinya menekankan nilai-nilai esensial, bukan sekadar yang simbolik। Nabi Muhammad, misalnya, mengatakan bahwa banyak orang Islam yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali sekadar haus dan lapar. (*)

Tidak ada komentar: