Selasa, 04 Maret 2014

Soliditas (Semu) PDIP, Koran Sindo, 4 Maret 2014

Kasus Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (Risma), yang telah menjadi pemberitaan nasional secara besar-besaran belakangan ini tampaknya mengusik Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, untuk segera turun tangan. Pasalnya pemberitaan yang cenderung memperlihatkan adanya riak-riak internal di lingkaran partai kepala banteng tersebut disinyalir banyak merugikan PDIP yang notabene partai pengusung Risma. Pemberitaan tersebut terutama berkaitan dengan rencana pengunduran Risma dari jabatannya. Hal ini antara lain dipicu oleh pengangkatan Wisnu Sakti Buana sebagai wakil wali kota untuk mendampingi Risma sebagai pengganti Bambang DH yang mundur karena mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Jatim. Proses pengangkatan tersebut dipandang Risma sebagai tidak prosedural karena tidak melibatkan dirinya sama sekali. Sejak saat itulah kasus Risma kemudian bergulir bak bola liar sehingga menjadi pemberitaan besar-besaran. Risma yang dipandang sebagai wali kota yang banyak menorehkan prestasi gemilang di kota pahlawan itu menjelma menjadi sosok yang diharapkan publik Indonesia sebagai calon pemimpin di masa depan. Kini Risma, seperti halnya Jokowi dulu yang hanya berkutat di daerah, telah berhasil naik ke panggung politik nasional. Tidak heran kalau kemudian kasus Risma terus menggelinding tanpa dapat dihentikan. Risma pun berubah menjadi komoditas politik yang diperebutkan oleh partai-partai politik untuk dipasangkan dengan calon-calon mereka. Realitas ini jelas sangat merugikan PDIP karena kalau sampai Risma berhasil ditarik partai lain, PDIP lah yang paling dirugikan karena suaranya akan terbelah. Soliditas (Semu) Dalam situasi yang semakin tidak menguntungkan PDIP itulah Mega kemudian turun tangan. Bersama dengan sejumlah elite partai dan juga Gubernur DKI, Joko Widodo (Jokowi), Mega bertandang ke Surabaya. Dalam pertemuan dengan Risma Mega meminta sang wali kota untuk mengurungkan niatnya mengundurkan diri dan tetap tegar melanjutkan kepemimpinannya di Surabaya tanpa harus memikirkan yang lain-lain di luar itu. Sebagai sebuah langkah dalam mengelola konflik (conflict management) apa yang dilakukan Mega di atas memang untuk sementara dapat meredam riak-riak internal di PDIP. Setidaknya, para elite partai tersebut bersepakat untuk segera mengakhiri kekisurahan yang terjadi khususnya terkait pengangkatan Wisnu sebagai pendamping Risma. Pada saat yang sama mereka mengharapkan agar semua kalangan di internal partai untuk lebih memfokuskan diri pada upaya konsolidasi partai guna menghadapi Pemilu 2014. Namun, menurut hemat penulis, kalau dicermati secara lebih mendalam, langkah Mega tersebut tidak serta merta akan membuat soliditas PDIP terutama di Surabaya akan dengan mudah terbangun kembali. Secara permukaan mungkin saja tidak terlihat riak seperti yang terlihat, tetapi bukan tidak mungkin di balik itu masih tersimpan bibit konflik yang tidak mudah dipadamkan begitu saja atau dalam waktu yang singkat. Membaca kasus Risma tidak bisa hanya dimulai dari masalah pengangkatan Wisnu sebagai wakilnya, tetapi harus membacanya secara utuh dari proses-proses politik sebelumnya. Selama menjabat sebagai Wali Kota Surabaya Risma sudah sering mendapatkan tekanan-tekanan politik yang celakanya datang dari orang-orang partai pengusungnya termasuk Wisnu sendiri. Kasus yang paling terkenal adalah saat Risma menolak dengan tegas rencana pembangunan jalan tol di tengah Kota Surabaya dengan anggaran trilyunan rupiah. Risma yang tidak tergiur dengan iming-iming uang melimpah jika ia menyetujui rencana tersebut, lebih memilih untuk bersikukuh mempertahankan kota Surabaya seperti sekarang. Sikap tegas Risma inilah yang kemudian membuatnya kerap berseberangan dengan kalangan DPRD di mana Wisnu merupakan wakil ketuanya. Selain masalah pembangunan jalan tol, banyak pula kebijakan-kebijakan lain yang dilakukan Risma dan kemudian ditentang oleh kalangan DPRD Surabaya sehingga Risma semakin merasa tertekan. Puncaknya saat Wisnu yang notabene orang sesama PDIP yang kerap menentangnya diangkat menjadi wakilnya. Tentu saja keengganan Risma untuk didampingi Wisnu bukan semata-mata masalah prosedural, tetapi jelas karena riwayat konflik antar keduanya. Oleh karena itu, menilik riwayat konflik antar Risma-Wisnu selama ini tidak akan mudah bagi keduanya, terutama bagi Risma untuk menghilangkan kesejangan psikologis dalam memimpin Kota Surabaya ke depan. Bukan tidak mungkin Risma masih merasa curiga bahwa pengangkatan Wisnu dilakukan dalam rangka membuat dirinya tidak leluasa lagi melakukan kebijakan-kebijakan seperti sebelumnya karena Wisnu mungkin saja akan berusaha merecokinya. Dalam hal ini, seharusnya Mega pada saat pertemuan kemarin tidak hanya meminta Risma untuk membatalkan rencana pengunduran diri dan terus melanjutkan pekerjaannya. Tetapi yang justeru lebih penting adalah meminta Wisnu untuk mendukung sepenuhnya program-program yang telah dan akan dilakukan Risma. Termasuk dalam hal hubungan Risma dengan DPRD, Wisnu seharusnya diminta untuk mampu “mengendalikan” DPRD Surabaya. Namun sayangnya Mega agaknya lebih melihat Risma sebagai fokus dari kekisruhan yang menimpa Kota Surabaya belakangan ini. Sehingga Mega kemudian lebih banyak memberikan perintah pada Risma, tetapi tidak pada Wisnu. Padahal jelas yang membuat Risma tertekan adalah ulah orang-orang PDIP yang notabene “anak-anak” Mega sendiri. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin bahwa ke depan akan terjadi kembali gesekan-gesekan antara Risma-Wisnu dalam memimpin Kota Surabaya. Apalagi, seperti yang dikatakan Komisi II bahwa kemelut di Kota Surabaya sepenuhnya diserahkan pada kewenagan daerah untuk menanganinya. Ini berarti bahwa orang-orang daerah, dalam hal ini kalangan DPRD Surabaya akan lebih leluasa mengatasinya, termasuk dalam menghadapi Risma. Jika ini yang terjadi, maka soliditas yang diperlihatkan PDIP dengan kedatangan Mega di Surabaya boleh jadi hanyalah soliditas semu belaka

Tidak ada komentar: