Senin, 25 Januari 2010

100 Hari Mengejar Cinta

Minggu-minggu ini merupakan momen yang sangat krusial bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono yang merupakan bentukan hasil Pemilu 2009. Hal ini karena setiap kali memasuki 100 hari masa pemerintahan penilaian dan evaluasi atas kinerja pemerintah selalu diberikan. Tren positif atau negatif dari masa tersebut akan menjadi faktor yang menentukan, meskipun tidak bersifat mutlak, bagi masa-masa selanjutnya.
Evaluasi terhadap 100 hari pemerintahan SBY tentulah harus diberikan secara menyeluruh menyangkut berbagai bidang. Namun tulisan ini hanya akan memfokuskan penelaahannya pada bidang komunikasi, khususnya komunikasi politik. Yakni, bagaimana SBY sebagai komunikator menjalin komunikasi dengan rakyat sebagai khalayak dan bagaimana substansi dari pesan-pesan politik yang disampaikannya.

Sloganistik
Menilik berbagai pernyataan politik SBY di awal-awal pemeritahannya tampak bahwa komunikasi politik yang dibangun SBY bersifat sloganistik, penuh dengan jargon-jargon retoris, tetapi miskin substansi. Dalam berbagai forum, misalnya, SBY senantiasa mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintahannya akan memberantas korupsi. Siapapun pelaku korupsi, tanpa pandang bulu, harus ditindak tegas.
Pemberantasan korupsi merupakan pesan politik yang sesungguhnya sangat penting bagi rakyat Indonesia karena fenomena korupsi di negeri ini sudah sedemikian akut. Belum tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran yang merata di kalangan penduduk Indonesia dengan kian meningkatnya angka kemiskinan, antara lain disebabkan oleh korupsi. Karenanya, upaya pemberantasan korupsi menjadi solusi yang mesti diprioritaskan pemerintahan SBY sekarang ini.
Namun sayangnya, pernyataan SBY untuk memberantas korupsi tersebut tidak sejalan dengan langkah-langkah yang diambilnya. Masih segar dalam ingatan kita kasus perseteruan yang melibatkan tiga lembaga negara, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KP), Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Kasus yang sering disebut-sebut sebagai “kriminalisasi” atas KPK yang berbuntut pada penahanan dua anggotanya, Bibit S. Riyanto dan Chandra M. Hamzah, memperlihatkan ketidaktegasan SBY dalam upaya memberantas korupsi. SBY tampak gamang dalam memberikan solusi dengan berlindung di balik dalih tidak mau melakukan “intervensi” pada proses hukum.
Meskipun akhirnya dapat diselesaikan, tetapi kasus ini sudah terlanjut berlarut-larut dan menghiasi pemberitaan berbagai media bukan hanya di dalam negeri melainkan juga di luar negeri. Citra pemerintahan SBY pun turun secara drastis akibat inkonsistensi yang diperlihatkannya. Publik agaknya menilai bahwa pernyataan SBY untuk memberantas korupsi lebih merupakan slogan karena ketidaktegasannya untuk menindak terhadap orang yang menghalangi upaya pemberantasan korupsi oleh KPK, sebaliknya membiarkan proses “pemandulan” lembaga ini.
SBY juga tidak melakukan tindakan apapun saat namanya dicatut dalam rekaman pembicaraan yang diputar di Mahkamah Konstitusi oleh Anggodo Wijoyo dengan sejumlah kalangan bahkan dengan otoritas hukum. Pihak Istana memang sempat memberikan perintah untuk mengusut pencatutan nama RI1 tersebut, tetapi ternyata tidak ditindaklanjuti. Diamnya SBY terhadap hal ini tentu mengherankan sekaligus menimbulkan sejumlah pertanyaan akan keseriusan upaya pemberantasan korupsi. Apakah SBY tidak merasa dicemarkan nama baiknya dengan pencatutan tersebut?

Lumpur Kecurigaan
Selain slogantistik, ternyata SBY juga gemar memberikan pernyataan politik yang dilumuri lumpur kecurigaan terhadap publiknya sendiri bahkan kadang-kadang terkesan berlebihan. Kasus yang paling anyar adalah saat akan digelar peringatan Hari Antikorupsi Internasional pada 9 Desember yang lalu. SBY secara jelas menyatakan bahwa akan ada gerakan sosial yang bermotif politik dengan menunggangi aksi peringatan tersebut.
Pernyataan SBY tentu saja mengundang reaksi berbagai pihak yang pada umumnya menyesalkan bahkan tidak sedikit yang mengecamnya, karena pernyataannya tersebut tidak berdasar. Dan pada kenyataannya tidak terjadi hal-hal yang mencurigakan sampai acara peringatan tersebut selesai. Dari sudut ini sesungguhnya SBY telah menanggu malu karena apa yang dituduhkannya ternyata tidak terbukti.
Komunikasi SBY yang penuh kecurigaan ini ternyata sudah dimulai SBY tidak lama setelah terpilih menjadi Presiden RI untuk yang kedua kalinya. Ketika terjadi peledakan bom di Hotel Ritz Charlton dan JW Marriot SBY sempat melansir pernyataan yang isinya antara lain menuduh kelompok yang kalah dalam pemilu terkait upaya peledakan tersebut. SBY bahkan mengutip data intelejen untuk menguatkan pernyataannya itu, sesuatu yang sebenarnya bersifat rahasia.

Degradasi Pencitraan
Berbagai pernyataan SBY di atas, baik yang bersifat sloganistik maupun yang dilumuri oleh lumpur kecurigaan dalam derajat tertentu dapat mendegradasi pencitraan SBY. Apalagi komunikasi, sebagaimana disebutkan Porter dan Samovar (1982) berwatak irreversible, artinya tidak dapat ditarik kembali. Sekali komunikator memberikan pesan, maka efeknya sulit dihilangkan sama sekali. Celakanya kalau yang muncul adalah efek yang buruk seperti yang terjadi pada SBY.
Padahal SBY selama ini dikenal sebagai Presiden RI yang paling memperhatikan citra diri dibandingkan presiden-presiden sebelumnya. Pengelolaan kesan (impression management) sebagaimana ditegaskan Erving Goffman (1959) dalam teori dramarturginya, sangat ditekankan SBY dalam membangun citranya tersebut. Dalam berbagai kesempatan, SBY senantiasa memaksimalkan citra dirinya baik secara verbal maupun nonverbal.
Dari sisi dramaturgis Goffman, pencitraan SBY di wilayah panggung depan tersebut (front stage) tersebut memang sungguh luar biasa. SBY berhasil menampilkan citra dirinya begitu ideal. Secara verbal, ia selalu mengucapkan kata-kata yang santun, lembut dan tidak bersifat menyerang dan seterusnya. Secara nonverbal, ia juga senantiasa tampil dengan pakaian yang rapi, rambut kelimis dan wajah ganteng dengan penuh senyum, sehingga mampu menghipnotis publik.
Sayangnya, pencitraan yang telah susah payah dibangun SBY tersebut ternoda oleh corak komunikasinya sendiri yang slogantistik dan penuh kecurigaan seperti disinggung di muka. Akibat yang paling mengkhawatirkan dari hal tersebut adalah munculnya ketidakpercayaan (distrust) publik terhadap SBY. Apalagi publik sekarang sudah sangat kritis sehingga dapat membedakan mana yang kulit dan mana yang isi. Dengan corak komunikasi di atas, tentu publik akan menilai SBY hanya mengedepankankan kulit semata sembari melupakan isi.
Oleh karena itu, SBY harus mengubah corak komunikasinya sehingga sesuai dengan citra dirinya. Jika selama ini ia selalu dicitrakan sebagai orang yang santun, lembut dan tidak suka menyerang, maka seharusnya ia tidak boleh mengeluarkan pernyataan yang berisikan kecurigaan karena hal itu berseberangan.
Pendek kata, SBY mesti mengedepankan komunikasi yang jujur dengan publik. Jika ia jujur dalam komunikasi pastilah akan mudah mendapatkan cinta dari publik. Bukankan sudah seharusnya seorang presiden mengejar cinta dari publiknya supaya seirama dalam bersama-sama membawa negeri ini menjadi negeri impian. Kalau model komunikasi seperti di atas yang diterapkan bagaimana mungkin SBY dalam 100 hari mampu mengejar cinta dari publiknya.

Tidak ada komentar: