Minggu, 29 November 2009

Meneladani Ketegasan Ibrahim

Dimuat di Harian Tribun Jabar Kamis, 26 November 2009

Besok Jum’at 10 Dzulhijjah 1431H/27 November 2009 umat Islam di seluruh dunia akan merayakan Hari Idul Adha atau biasa disebut juga Hari Raya Qurban. Setiap kali merayakan hari besar yang bersejarah tersebut, umat Islam selalu terkenang dengan seorang tokoh sentral yang senantiasa dinapaktilasi jejaknya dan diteladani semua sisi kehidupannya, yaitu Nabi Ibrahim. Banyak hal dari suri tauladan Ibrahim yang sangat relevan untuk direalisasikan oleh umat manusia, terutama para pemimpin mereka hari ini.

Ketegasan
Salah satu teladan penting dari kehidupan Ibrahim adalah ketegasannya dalam mengambil sikap. Resiko seberat apapun siap ia pikul jika memang keputusan itu yang mesti diambilnya, bahkan jika harus kehilangan nyawa sekalipun.
Ketegasan Ibrahim terpancar, misalnya, dalam pengembaraan spiritualnya yang luar biasa ketika ia ingin menemukan Tuhan. Saat melihat matahari, Ibrahim sempat berpikir bahwa itulah Tuhan, tetapi ketika di sore hari matahari itu terbenam, ia segera mengambil kesempulan bahwa tidak mungkin Tuhan seperti itu. Demikian pula ketika melihat bulan yang di malam hari terlihat begitu indah dan anggun, tetapi di siang hari tidak terlihat lagi, Ibrahim kembali menyimpulkan hal yang sama sampai kemudian ia menyadari keberadaan Tuhan yang sesungguhnya. Cara Ibrahim mengambil kesimpulan seperti itu tampak begitu tegas.
Puncak ketegasan Ibrahim adalah ketika ia diperintahkan Tuhan melalui mimpinya untuk menyembelih putera tercintanya, Ismail, sebagai bentuk pengorbanan kepada Tuhan. Sebagai manusia biasa, tentu ia merasa begitu pilu dan tersayat-sayat hatinya menghadapi realitas yang sangat pahit tersebut. Bagaimana mungkin ia tega menyembelih puteranya sendiri, padahal Ismail adalah anak yang ia tunggu-tunggu kelahirannya sampai di usia lanjut. Kini ketika Ismail mulai beranjak remaja Ibrahim harus menyembelihnya justeru oleh tangannya sendiri, sebuah ujian Tuhan yang maha berat.
Tetapi di sinilah ketegasan sekaligus ketabahan Ibrahim. Resiko seberat apapun tak pernah menghalanginya untuk mengambil keputusan. Ia tahu perintah tersebut datangnya dari Tuhan, karenanya, ia tidak mau menolaknya. Ia berikan kepatuhan yang total kepada Tuhan tanpa reserve. Ia tahu hidup dan mati di tangan Tuhan Sang Maha Pencipta. Maka, dengan tegas Ibrahim mengiyakan perintah itu. Ibrahim pun lulus dari ujian, dan akhirnya Tuhan mengganti kurban dengan hewan seperti domba dan sejenisnya seperti yang terjadi hingga sekarang.

Pemimpin Yang “Ibrahim”.
Melihat paparan di atas tampak bahwa ketegasan Ibrahim dalam mengambil sikap tanpa takut kehilangan apapun patut menjadi teladan kita semua. Sayangnya dewasa ini kita kerap menyaksikan para pemimpin kita justeru memperlihatkan hal yang sebaliknya: penuh keragu-raguan, keplin-planan dan ketakutan. Dan yang paling parah adalah tidak siap menghadapi resiko dari keputusan yang diambilnya. Ini semua bermuara pada ketakutan akan hilangnya kekuasaan yang tengah digenggamnya.
Kalau melihat pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai tanggapan resmi atas rekomendasi Tim 8 terhadap kasus Bibit S. Riyanto dan Candra M. Hamzah, --keduanya Ketua KPK non-aktif—dan kasus Bank Century, misalnya, tampak bahwa sikap SBY tersebut tidak tegas atau mengambang. Sebagian kalangan menyebutnya multitafsir, karena memang bisa ditafsirkan macam-macam. Tidak ada penjelasan langkah konkrit apa yang mesti diambil untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Dalam penyelesaian kasus Bibit dan Candra, misalnya, secara implisit SBY menghendaki agar penyelesaiannya dilakukan di luar pengadilan dengan memperhatikan rasa keadilan publik. Namun SBY tidak memberikan langkah konkritnya seperti apa. Ia hanya mengatakan bahwa Polri dan Kejaksaan Agung hendaknya melaksanakan kewenangannya. Apakah ini berarti instruksi kepada kedua institusi itu karena SBY adalah atasannya atau hanya sekadar saran saja, inilah yang agaknya membingungkan.
Akibat dari ketidaktegasan itu, Polri dan Kejaksaan Agung tampaknya tidak merasa terikat dengan pidato SBY tersebut dan celakanya masing-masing institusi itu mengambil langkah sendiri-sendiri, jangan-jangan juga untuk menyelamatkan diri sendiri. Polri, misalnya, mengatakan berkas Bibit-Candra telah diserangkan ke Kejaksaan, tinggal bagaimana kejaksaan menindaklanjutinya. Tidak heran kalau para pengamat mengatakan bahwa Polri telah melemparkan bola panas. Situasi seperti ini sebenarnya tidak akan terjadi kalau SBY tegas dalam mengambil sikap.
SBY boleh jadi melakukan itu secara disengaja. Di satu sisi, ia ingin terkesan –sebagai realisasi politik pencitraan yang selalu ia gunakan—berpihak kepada publik, dan di sisi lain, ia tidak ingin dicap melakukan intervensi dalam ranah hukum. Tetapi sikap seperti itu justeru dapat ditafsirkan bahwa SBY punya “kepentingan” sendiri, misalnya melindungi sesuatu yang tidak diketahui publik. Yang tidak diperhitungkan SBY adalah eskalasi kemuakan publik terhadap berbagai praktik peradilan di negeri ini. Dengan sikapnya itu SBY akan dipandang membiarkan praktik seperti ini terus berlangsung.
Akibat yang paling fatal dari sikapnya itu adalah ketidakpercayaan (distrust) publik sangat mungkin beralih kepada SBY sendiri. Padahal sebelumnya ketidakpercayaan publik masih mengental kepada Polri dan Kejaksaan Agung. Publik seolah mendapatkan justifikasi bahwa kengototan kedua institusi hukum tersebut untuk memperkarakan Bibit-Candra sebenarnya “direstui” Presiden.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ketegasan seorang pemimpin sangat diperlukan oleh publik. Dengan memperingati Hari Idul Adha ini, seyogianya ketegasan Ibrahim dijadikan momentum yang tepat bagi para pemimpin kita untuk mampu bersikap tegas dalam menghadapi berbagai persoalan tanpa takut kehilangan apapun seperti yang telah dicontohkan Ibrahim. Pemimpin yang “Ibrahim” memang sedang kita tunggu-tunggu.

*Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung.

Tidak ada komentar: