Rabu, 28 Januari 2009

MUI dan Perangkap Politik

Hasil sidang Ijtima Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Padang Panjang mewajibkan masyarakat Indonesia menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009. Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan sebagai fatwa tentang haram golput seperti yang diminta sementara kalangan, tetapi substansi keputusan tersebut tampaknya sama saja. Pasalnya, sebagaimana ditegaskan ketuanya, Ma’ruf Amin, apabila umat tidak memilih kriteria pemimpin seperti yang digariskan MUI dalam keputusan tersebut, yakni amanah, jujur dan cerdas, atau memutuskan untuk tidak mencoblos padahal banyak calon pemimpin yang memenuhi kriteria tersebut, maka hukumnya haram (Sindo, 27/01/09).



Perangkap Politik
Persoalan yang laik diajukan di sini adalah etiskah sebuah lembaga keagamaan semacam MUI mengeluarkan sebuah keputusan yang sarat dengan kepentingan politik pragmatis semacam itu? Bukankah hal itu justeru akan berbahaya bagi MUI sendiri karena akan “terjebak” pada ranah politik praktis? Di samping itu, apakah keputusan itu akan efektif, dalam arti, akan diikuti oleh masyarakat Indonesia?
Menurut hemat penulis, keputusan MUI yang mewajibkan masyarakat Indonesia menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009, justeru merupakan sebuah bentuk keterjebakan lembaga keagamaan ini dalam perangkap politik. Dalam konteks ini, MUI yang sejatinya berada di wilayah sakral (agama) diseret masuk ke dalam wilayah profan untuk kepentingan politik sekelompok orang atau golongan tertentu. Dengan kata lain, lembaga keagamaan ini telah dijadikan alat kekuasaan.
Dengan demikian, agama telah diperlakukan secara dangkal justeru oleh lembaga keagamaan itu sendiri. Jika agama diperlakukan seperti ini akibatnya agama akan kehilangan misi sucinya sebagai pembebasan bagi umat karena agama telah “terperangkap” dalam jebakan kepentingan kelompok. Dan ini tentu saja sangat berbahaya bagi kelangsungan agama itu sendiri.
Sayangnya bukan kali ini saja MUI melakukan hal seperti itu. Dalam sejarahnya lembaga ini kerap “terjebak” dalam kepentingan-kepentingan politik. Pada masa Orde Baru, misalnya, bukan hal yang aneh kalau lembaga ini acap dijadikan pemesanan sejumlah fatwa yang tentu saja mendukung berbagai kebijakan pemerintahan Orde Baru.
Di antara fatwa MUI yang dianggap paling kontroversial pada masa itu adalah fatwa tentang dibolehkannya masyarakat mengikuti kuis berhadiah yang dikenal dengan SDSB atau porkas. MUI menyatakan bahwa hal tersebut bukan merupakan judi, karena itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hampir semua kalangan menilai bahwa fatwa tersebut jelas-jelas merupakan pesanan dari pemerintah. Demikian pula fatwa tentang Keluarga Berencana dan sejumlah fatwa lainnya.

Kontra Produktif
Keputusan yang telah dikeluarkan MUI tersebut agaknya tidak akan berlaku efektif sebagai sebuah upaya meningkatkan angka partisipasi politik. Selain akan memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia yang plural, juga keputusan itu sendiri sesungguhnya tidak memiliki kekuatan mengikat yang bisa memaksa masyarakat untuk mau tidak mau melaksanakannya.
Pada sisi lain, hal tersebut dapat dipandang sebagai tindakan kontra produktif terhadap demokrasi. Bagaimana pun golput merupakan hak warga yang tidak dapat dicegah. Setiap upaya negara atau suatu kelompok yang mencoba menghalangi kebebasan warga dalam mengartikulasikan hak politiknya jelas akan dipandang sebagai tidak demokratis. Meskipun tindakan tersebut bertujuan untuk melibatkan warga dalam politik tetapi kalau sifatnya paksaan tentu akan dianggap bertentangan dengan hakikat demokrasi.
Jika kita cermati golput pada saat ini tampaknya berbeda dengan golput pada masa Orde Baru. Pada masa itu golput pada umumnya lebih dimaknai sebagai sebuah “perlawanan” terhadap status quo. Para aktivis demokrasi di Indonesia memandang bahwa pemilu-pemilu yang dilakukan rezim Orde Baru tidak lebih sebagai kamuflase belaka, sebab pemenangnya sudah pasti partai yang berkuasa (Golkar). Sedangkan dua partai lainnya (PDI dan PPP) dipajang sebagai “aksesoris” belaka. Maka, memberikan suara pada pemilu semacam itu jelas percuma saja, sehingga golput menjadi pilihan yang cukup strategis.
Dalam konteks politik Indonesia masa kini golput agaknya memiliki banyak dimensi. Sebagian dari masyarakat Indonesia barangkali masih ada yang memilih golput berdasarkan cara pandang di atas. Apalagi sekarang ini tingkat ketidakpercayaan politik (political distrust) masyarakat terhadap partai politik (parpol) cukup tinggi. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa banyak pula masyarakat yang tidak memberikan suaranya dalam pemilihan bukan karena alasan di atas, tetapi karena alasan-alasan lainnya. Ada yang bersifat teknis, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih atau lainnya, dan ada pula karena sudah jenuh karena banyaknya pilkada.

Literasi Politik
Keputusan di atas sangat mungkin akan berimplikasi negatif terhadap MUI itu sendiri sebagai sebuah lembaga keagamaan. MUI akan dipandang melakukan tindakan yang tidak etis karena mau diseret-seret ke dalam politik praktis yang sarat kepentingan politik. Padahal sejak era Orde Baru berakhir lembaga ini telah menyatakan perubahan paradigma baru, terutama dalam hal keindependenan dari berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu, baik pemerintah maupun kelompok lainnya. Dengan adanya keputusan tersebut tentu orang akan mempertanyakan kembali keindependenannya, dan salah-salah, ia akan kehilangan kredibilitasnya sebagai lembaga yang berwibawa di mata umat, seperti yang terjadi pada masa kepemimpinan Buya Hamka.
Oleh karena itu, untuk menekan angka golput sebaiknya tidak perlu menggunakan instrumen keagamaan. Memberikan literasi politik yang cerdas kepada masyarakat justeru jauh lebih elegan. Sebab dengan pemahaman yang lebih baik terhadap politik partisipasi warga dalam pemilu akan meningkat. Dan hal itu tentu saja dilakukan dengan kesadaran politik (political awareness) yang tinggi. Itulah sejatinya yang harus diupayakan oleh para elite politik di negeri ini.

Tidak ada komentar: