Minggu, 15 Maret 2009

Bola di Tangan JK

Pikiran Rakyat, Senin 16 Maret 2009

MENARIK sekali mencermati berbagai manuver politik yang dipertontonkan oleh Wapres Jusuf Kalla (JK) belakangan ini. Pernyataan kesediaannya maju sebagai calon presiden (capres) Partai Golkar pada pemilihan presiden (pilpres) Juli mendatang tampaknya cukup serius. Ini dipandang berbagai pihak sebagai kehendak JK untuk "bercerai" dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Tanda-tanda perceraian kedua sejoli tersebut kian kuat akhir-akhir ini. Keduanya kerap melakukan politik tebar pesona secara terpisah yang terbungkus dalam balutan acara-acara kenegaraan seperti kunjungan kerja ke berbagai daerah. Namun, apakah pasangan SBY-JK benar-benar akan bercerai? Inilah pertanyaan yang coba dijawab dalam tulisan ini.

Manuver JK

Tidak bisa dimungkiri bahwa JK saat ini dipandang sebagai salah seorang tokoh politik Indonesia yang sangat cerdik dalam memainkan peran politiknya. Prestasi tertingginya dalam ranah politik hingga saat ini, selain menjadi wapres, juga sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Padahal, sebenarnya ia termasuk orang yang relatif baru dalam lingkaran elite politik Golkar dibandingkan dengan pesaing-pesaingnya ketika itu, seperti Akbar Tandjung (AT), Surya Paloh, dan lain-lain.

Cara berpikir JK yang rasional dan pragmatis ala pengusaha membawanya ke dalam petualangan politik yang serbafleksibel. Bagi sebagian kalangan, perilaku politik semacam ini dianggap sebagai tidak konsisten atau plinplan, namun bagi sebagian lain dipandang sebagai kecerdikan dan kelihaian. Pada Pemilu 2004, misalnya, JK yang mengikuti konvensi calon presiden dari Golkar bahkan sudah sampai pada tahapan kedua, kemudian mengundurkan diri. Ia justru bergabung dengan SBY sebagai pasangan capres-cawapres yang notabene tidak diusung oleh Golkar. Ternyata pasangan SBY-JK terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, dan tidak berselang lama JK terpilih sebagai Ketum Golkar.

Dengan latar seperti itu, tidaklah mengherankan kalau gerak gerik politik JK dan Golkar yang dipimpinnya senantiasa menjadi bahan sorotan berbagai kalangan. Akankah JK kembali mempertontonkan kepada publik Indonesia permainan politik tingkat tinggi di mana ia berperan sebagai dirigennya?

Setelah menghadiri undangan dari elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS) beberapa waktu lalu, JK kemudian melakukan pertemuan politik dengan elite Partai Persatuan Pembangunan. Yang teranyar tentu saja pertemuan politik JK dengan Megawati Soekarnoputri yang salah satunya membahas tentang pemerintahan Indonesia yang kuat di masa datang. Pertemuan yang terakhir ini seolah menjadi kelanjutan pertemuan antara Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang telah dirintis oleh Surya Paloh dan Taufik Kiemas beberapa waktu lalu.

Tentu saja berbagai pertemuan politik JK dengan elite-elite parpol tersebut mempertegas sinyalemen berbagai kalangan bahwa JK benar-benar hendak meninggalkan SBY. Hal ini ditambah dengan sejumlah pernyataan JK sendiri yang mengindikasikan hal tersebut, antara lain penolakannya terhadap pasangan campuran Jawa-non-Jawa. Menurut dia, pasangan semacam itu sekadar mitos, sebab masyarakat Indonesia sekarang sudah cerdas sehingga mampu memberikan pilihan politik secara rasional. Padahal, di masa lalu ia termasuk orang yang sependapat dengan model pasangan campuran tersebut.

Sekadar penjajakan

Menurut hemat penulis, berbagai manuver politik JK dan Golkar tadi sebenarnya lebih merupakan satu langkah penjajakan belaka untuk menakar berbagai pilihan politik demi Pilpres 2009. Dengan kata lain, berbagai kemungkinan pilihan masih bisa terjadi paling tidak sampai pemilu legislatif (pileg) April, termasuk kembali berduetnya JK dengan SBY. Selain itu, langkah tersebut bisa dibaca pula sebagai "gertakan" bagi parpol-parpol lain, khususnya Partai Demokrat, bahwa Golkarlah parpol yang harus paling diperhitungkan dalam konstelasi politik nasional. Bagaimanapun magnitude politik Partai Golkar masih tetap besar dibandingkan dengan parpol-parpol lain. Oleh karena itu, Partai Demokrat cukup ketar-ketir juga jika JK betul-betul meninggalkan SBY.

Namun demikian, kalkulasi politik JK dan Golkar yang dilandaskan pada pilihan rasional dan pragmatis tetap akan menjadi pijakannya. Dalam perspektif ini, sulit sebenarnya bagi JK untuk, misalnya, meninggalkan Demokrat dan kemudian merapat ke PDIP. Meskipun secara realistis dukungan politik akan besar, tetapi bagaimana membagi kekuasaan antara JK dan Megawati. Bersediakah JK menjadi cawapres Mega yang sudah menyebutkan harga mati untuk menjadi capres, dan apakah peluang duet ini akan lebih besar dibandingkan dengan duet SBY-JK yang selalu unggul dalam berbagai survei. Tentu saja JK tidak akan mau mengambil pilihan politik yang justru merugikannya.

Pada sisi lain, kehadiran Akbar Tanjung (AT) sebagai sesama tokoh Golkar juga akan menjadi pertimbangan serius JK, apalagi sekarang mulai muncul wacana duet SBY-AT. Meskipun AT kurang berpengaruh lagi di Golkar pada tingkat DPP, tetapi pengaruhnya di daerah masih sangat kuat. Dalam satu survei disebutkan, jika SBY berduet dengan AT dengan asumsi SBY-JK pecah, ternyata hasilnya 76% ("PR", 12/03). Kalau pasangan SBY-AT betul-betul terjadi dan kemudian menjadi pemenangnya, bukan tidak mungkin Golkar pun akan mendukung AT. Ini akan menjadi semacam "karma" politik bagi JK, yang dulu juga meninggalkan Golkar, tetapi kemudian setelah menjadi cawapres ia justru didukung Golkar. Tentu JK tidak akan membiarkan semua itu terjadi.

Sementara itu, kans JK untuk maju menjadi capres sangat kecil. Maka, pada akhirnya, JK mau tidak mau mesti mengambil pilihan yang paling menguntungkan dirinya dan Golkar. Jika memang maqam politiknya hanya sebatas wapres dan kansnya lebih besar jika tetap berduet dengan SBY, maka hemat penulis, JK akan mengambil pilihan tersebut. Masalah "harga diri", bagi pengusaha yang terbiasa berpikir rasional dan pragmatis seperti JK tampaknya tidak terlalu signifikan.***

Penulis, mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.
Dans cet article : Alfan Alfian (articles), Goen Heryanto (articles), A. Bakir Ihsan (articles), Asrori Karni (articles), Ilham Khoiri (articles), Kiki Zakiah (articles), Moch Syarif Hidayatullah (articles), Yuddy Chrisnandi Dua (articles)
Mis à jour il y a 40 minutes · Commenter · J'aimeJe n'aime plus
Vous aimez.

Ahmad Tholabi Kharlie, à 10:07 le 16 mars
Bola sepak atau bola volly? he he he. Akan saya baca. Wilujeng kang Iding, mantap...!
Rédiger un commentaire...
Menakar Arah Koalisi (Surabaya Post, 13 Maret 2009)
Partager
sam 19:06 | Modifier l'article | Supprimer
Surabaya Post, 13 Maret 2009

Iding R. Hasan
Deputy Director

The Political Literacy Institute

Pemberitaan tentang kasak-kusuk para calon presiden (capres) menjelang
pemilihan presiden (pilpres) 2009 tampaknya jauh lebih intens belakangan
ini ketimbang tentang sepang terjang para calon legislatif (caleg)
menjelang pemilihan legislatif (pileg) yang tinggal menyisakan hitungan
hari. Pemberitaan tersebut bermuara pada isu koalisi di antara para
capres, terutama yang berasal dari partai-partai papan atas.

Persyaratan capres yang harus memperoleh 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu kali ini tampaknya mengharuskan mereka untuk membangun koalisi antar satu dengan yang lain. Secara realistis, agaknya sulit bagi partai politik (parpol) pengusung capres untuk memenuhi batas persyaratan tersebut, apalagi jumlah parpol pada pemilu 2009 mencapai 38. Padahal pada pemilu 2004 lalu dengan jumlah parpol 24 saja, tidak ada satu pun yang memperoleh persentase seperti itu.



Rivalitas atau Skenario?

Sulit dimungkiri bahwa Partai Golkar memiliki magnitude besar dalam konteks koalisi. Hal ini bukan saja karena Golkar selalu berada pada jajaran teratas perolehan suara pada pemilu-pemilu sebelumnya—antara urutan pertama atau kedua—tetapi karena partai ini juga merupakan partai yang paling sarat pengalaman dibandingkan parpol-parpol lainnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau gerak-gerik para elite politik Golkar selalau menjadi bahan pembicaraan.



Sorotan berbagai pihak atas perilaku elite politik Golkar kian intens ketika Ketua Umumnya, Jusuf Kalla (JK), menggebrak panggung politik nasional dengan menyatakan kesediannya untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Dengan kata lain, ia akan pecah kongsi dengan parternya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan akan bersaing pada pilpres Juli yang akan datang.



Pernyataan JK yang terkesan tiba-tiba tersebut disinyalir banyak kalangan karena merasa ”gerah” dengan ucapan salah seorang petinggi Partai Demokrat yang menyebutkan Golkar bisa jadi hanya memperoleh suara sebanyak 2,5 persen pada pileg. Bahkan ada salah seorang elite Golkar yang menegaskan bahwa partai ini merasa terinjak-injak harga dirinya, sehingga tidak perlu lagi untuk melanjutkan ”kemesraan” hubungan dengan Demokrat.



JK ternyata tidak sekadar mengeluarkan pernyataan kesediaan menjadi capres, tetapi juga melakukan langkah-langkah untuk menuju ke sana. Ia melakukan berbagai pertemuan politik dengan elite-elite parpol lain. Setelah memenuhi undangan petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ia kemudian menerima kunjungan petinggi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan belakangan ia melakukan pertemuan politik dengan Megawati Soekarnoputri. Langkah tersebut kian memperkuat spekulasi bahwa JK benar-benar serius dengan tekadnya tersebut.



Tak pelak lagi, kesedian JK yang lebih awal dari kesepakatan semula, yakni menunggu rapimsusnas pasca pileg, disinyalir akan menimbulkan friksi di tubuh partai Pohon Beringin itu. Pasalnya beberapa tokoh Golkar yang lain juga telah menyatakan kesedian maju sebagai capres dari Golkar, seperti Sultan Hamengkubuwono X, Akbar Tandjung dan lain-lain. Sultan tetap akan maju sebagai capres, sementara Akbar Tanjung diam-diam bergerilya ”melamar” sebagai cawapres SBY. Maka, muncullah beberapa faksi yang sekarang membelah Golkar, yaitu pendukung JK sebagai capres, pendukung Sultan dan pendukung JK untuk tetap berduet dengan SBY. Dapat pula ditambahkan di sini faksi Akbar Tanjung, sebab meski di DPP kurang didukung, tetapi di daerah-daerah suaranya masih cukup kuat. Dalam konteks ini, rivalitas tokoh-tokoh Golkar di atas sulit dihindari.



Tetapi benarkah rivalitas tersebut terjadi? Menurut hemat saya, dinamika politik yang terjadi dalam tubuh Golkar saat ini sesungguhnya lebih merupakan skenario Golkar dalam menghadapi pilpres 2009. Dengan kata lain, Golkar tengah membuka banyak ”pintu” untuk mencari peluang kekuasaan yang paling menguntungkan baginya. Para tokoh Golkar ”dibiarkan” seolah bergerak sendiri-sendiri, tetapi pada akhirnya nanti akan mengerucut pada satu tokoh yang paling berpeluang. Pada sisi lain, langkah Golkar tersebut dapat pula dibaca sebagai sinyal bahwa partai ini ingin memperlihatkan posisi sentralnya terhadap parpol-parpol lain. Artinya, Golkar dengan segala kelebihannya akan sangat diperhitungkan oleh parpol-parpol lain dalam menjalin koalisi. Maka, partai ini akan berpeluang menjadi ”pengendali” koalisi parpol.



Rasional-Pragmatis

Apa yang dipertontonkan oleh parpol-parpol dalam membangun koalisi menjelang pemilu 2009 mengindikasikan bahwa corak koalisi tersebut lebih bersifat strategis dan taktis ketimbang ideologis. Kepentingan untuk berbagi kekuasaan (power sharing) di antara berbagai parpol tampaknya sangat besar.



Golkar dalam konteks ini merupakan parpol yang selalu mengedepankan aspek rasional dan pragmatis dalam melakukan move politiknya. Pilihan-pilihan politik Golkar senantiasa didasarkan pada keuntungan dan keselamatan partai ini dalam konstelasi politik nasional. Bagi Golkar, posisi yang dapat menjamin hal tersebut adalah berada di pemerintahan, sekalipun ketuanya tidak menempati orang nomor satu.



Golkar bukanlah parpol dengan kultur ideologis kuat. Kader-kader partai ini tidak terbiasa dengan perjuangan ideologis yang bersifat militan sehingga bersedia melakukan apapun demi menyukseskan capres yang diusungnya. Sebaliknya pilihan-pilihan rasional-pragmatis lebih menarik bagi mereka. Fakta bahwa Golkar sekarang dipimpin JK, seorang pengusaha yang terbiasa berpikir seperti itu, kian mempertegas identitas partai ini. Rekam jejak (track record) JK sendiri pada Pemilu 2004 lalu yang lebih memilih mundur dari konvensi Golkar sebagai capres untuk kemudian berduet dengan SBY meski sebagai cawapres memperlihatkan kecenderungan politik JK.



Pada akhirnya nanti Golkar tidak akan ngotot menggolkan JK sebagai capres jika memang peluangnya kecil. Dengan kata lain, jika memang maqam politik JK hanya berada pada level wapres, maka partai ini tidak akan memaksakan diri. Ketimbang bermain zero-sum game, yang bisa berimplikasi pada kerugian karena terpental dari kekuasaan, lebih baik bagi Golkar bermain save tetapi tetap berada di pemerintahan. Oleh karena itu, saya tidak yakin jika peluang JK untuk kembali berduet dengan SBY telah tertutup sama sekali. Adagium dalam politik yang menyebutkan bahwa tidak ada kawan atau lawan yang abadi kecuali kepentingan itu sendiri tampaknya tetap berlaku.
Rédigé(e) samedi · Commenter · J'aimeJe n'aime plus
Vous aimez.

Rédiger un commentaire...
Hillary Clinton dan Misi AS (Pikiran Rakyat, 21 Pebruari 2009
Partager
dimanche 22 février 2009 à 07:32 | Modifier l'article | Supprimer
Oleh Iding R. Hasan

Kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Hillary Rodham Clinton ke Indonesia merupakan sebuah momentum yang sangat penting bagi AS maupun Indonesia. Bagi AS, Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis terkait dengan kebijakan baru Presiden Barack Obama yang lebih mengedepankan soft diplomacy dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain, terutama dengan negara-negara di kawasan Asia.

Sedangkan bagi Indonesia, AS sebagai negara adi daya tentu merupakan mitra yang sangat penting guna meningkatkan pencapaian-pencapaian Indonesia dalam berbagai bidang. Masalah-masalah yang dibicarakan Hillary baik dengan Menlu Hassan Wirajuda maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seperti perdagangan, investasi, pendidikan, kesehatan, dan perubahan iklim (climate change) mengindikasikan betapa pentingnya AS bagi Indonesia.

Komitmen demokrasi

Amerika Serikat tampaknya memberikan apresiasi yang tinggi terhadap perkembangan demokrasi yang cukup baik di Indonesia. Itulah kenapa Indonesia dipilih menjadi salah satu negara Asia, selain Jepang, Korea Selatan, dan Cina yang dikunjungi Hillary. Indonesia pascareformasi, terlepas dari berbagai problem yang menderanya, telah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan AS itu sendiri.

Amerika Serikat sebagai negara kampiun demokrasi mempunyai misi menyebarkan nilai-nilai demokrasi ke seluruh dunia. Inilah yang oleh O’Donnell dan Schmitter (1993) disebut praktik "ekspor" demokrasi oleh AS ke berbagai negara di dunia. Indonesia yang berpenduduk keempat terbesar di dunia memiliki posisi strategis di kawasan Asia untuk mengembangkan dan menyebarkan nilai-nilai demokrasi ala Amerika (Barat). Keberhasilan Indonesia dalam konteks ini akan dipandang keberhasilan AS pula.

Kondisi ini, di satu sisi, merupakan hal yang positif bagi Indonesia. Indonesia akan terdorong untuk semakin meningkatkan kualitas demokrasi yang tengah berjalan. Namun, di sisi lain, hal ini juga salah-salah bisa menjadi batu sandungan dalam hubungan Indonesia-AS. Bagaimanapun kita harus mengakui, sekalipun Indonesia dipandang cukup berhasil dalam mengembangkan demokrasi, masih banyak persoalan yang terkait dengan HAM dan hak politik lainnya di negeri ini yang belum menggembirakan. Penyelesaian kasus Munir merupakan salah satu yang kerap disorot oleh media-media AS. Tampaknya bukanlah tanpa maksud kalau istri almarhum Munir, Suciwati, hadir dalam acara penyambutan Hillary.

Islam Moderat

Salah satu yang membedakan makna kunjungan Hillary ke Indonesia dari negara–negara Asia lainnya yang dikunjungi adalah realitas bahwa Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Akan tetapi, yang jauh lebih menarik bagi AS adalah karakteristik Islam moderat yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia, yang membedakannya dengan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim laimnya, terutama di Timur Tengah. Islam dan demokrasi di Indonesia mampu berjalan beriringan dengan damai.

Karakteristik Islam moderat inilah yang tampaknya sangat mengesankan bagi AS. Hillary Clinton mengatakan bahwa Indonesia dengan beragam suku, ras, dan agama mampu hidup berdampingan secara harmonis. Bahkan, ia tegas mengatakan, jika orang ingin belajar tentang toleransi, ia harus datang ke Indonesia. Tentu kita berharap, ini bukan sekadar basa-basi politik belaka.

Memang ada sedikit ganjalan dalam konteks citra Islam moderat Indonesia dengan munculnya sejumlah organisasi Islam yang kerap menyuarakan sentimen anti-AS. Akan tetapi, sejauh ini hal tersebut tidaklah menurunkan citra Islam moderat Indonesia karena jumlahnya yang minoritas atau bukan merupakan mainstream. Indonesia, di mata AS, tetapi dipandang sebagai representasi Islam moderat.

Citra Islam moderat di Indonesia juga tidak terlepas dari upaya pemerintah. Pada beberapa tahun terakhir, Deplu melibatkan banyak tokoh cendekiawan Islam Indonesia yang berhaluan moderat seperti Azyumardi Azra, Komariddin Hidayat -- keduanya hadir dalam penyambutan Hillary -- dan lain-lain guna menjelaskan Islam Indonesia di berbagai forum internasional. Upaya ini tampaknya cukup berhasil sehingga citra Islam moderat Indonesia semakin kuat di mata internasional.

Tidaklah mengherankan kalau Indonesia akan dijadikan entry point bagi AS ke dunia Islam. Jika AS menjalin hubungan baik dengan Indonesia maka AS akan menjalin hubungan baik pula dengan dunia Islam secara keseluruhan. Hal ini penting dilakukan AS untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah di Timur Tengah, seperti konflik Palestina-Israel, Irak, Afganistan dan hubungannya yang kurang harmonis dengan Iran.

Indonesia, dengan demikian, memiliki kesempatan sangat baik untuk memanfaatkan peluang emas tersebut, misalnya, dengan meningkatkan kiprahnya di panggung dunia. Dalam kasus konflik Palestina-Israel, misalnya, Indonesia semestinya lebih aktif mengajukan berbagai inisiatif perdamaian sehingga tidak lagi sekadar menjadi "penggembira" di forum-forum internasional. Permintaan SBY kepada Hillary agar AS memberikan perhatian besar terhadap penyelesaian konflik di Palestina merupakan hal yang positif. Namun, hal itu harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah yang lebih konkret.

Namun, dengan modal demokrasi yang semakin baik dan Islam moderat yang telah menjadi trade mark, Indonesia tetap harus bersikap hati-hati dan kritis terhadap AS. Bagaimanapun, kepentingan nasional AS akan menjadi pertimbangan utama pemerintahan AS dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain termasuk Indonesia. Oleh karena itu, dalam melakukan hubungan dengan AS, Indonesia mesti mendasarkan pertimbangan kebijakannya pada asas penghargaan dan kepentingan timbal balik, dua hal yang juga menjadi komitmen utama Presiden Obama dalam menjalin hubungan dengan dunia Islam. Oleh karena itu, kekhawatiran akan terjadinya ekspansi AS ke Indonesia, baik secara politik maupun ekonomi, tidak akan terjadi. ***

Penulis, mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung dan Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute.

Menakar Arah Koalisis

Surabaya Post, Jum'at 13 Maret 2009

Pemberitaan tentang kasak-kusuk para calon presiden (capres) menjelang
pemilihan presiden (pilpres) 2009 tampaknya jauh lebih intens belakangan
ini ketimbang tentang sepang terjang para calon legislatif (caleg)
menjelang pemilihan legislatif (pileg) yang tinggal menyisakan hitungan
hari. Pemberitaan tersebut bermuara pada isu koalisi di antara para
capres, terutama yang berasal dari partai-partai papan atas.

Persyaratan capres yang harus memperoleh 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu kali ini tampaknya mengharuskan mereka untuk membangun koalisi antar satu dengan yang lain. Secara realistis, agaknya sulit bagi partai politik (parpol) pengusung capres untuk memenuhi batas persyaratan tersebut, apalagi jumlah parpol pada pemilu 2009 mencapai 38. Padahal pada pemilu 2004 lalu dengan jumlah parpol 24 saja, tidak ada satu pun yang memperoleh persentase seperti itu.



Rivalitas atau Skenario?

Sulit dimungkiri bahwa Partai Golkar memiliki magnitude besar dalam konteks koalisi. Hal ini bukan saja karena Golkar selalu berada pada jajaran teratas perolehan suara pada pemilu-pemilu sebelumnya—antara urutan pertama atau kedua—tetapi karena partai ini juga merupakan partai yang paling sarat pengalaman dibandingkan parpol-parpol lainnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau gerak-gerik para elite politik Golkar selalau menjadi bahan pembicaraan.



Sorotan berbagai pihak atas perilaku elite politik Golkar kian intens ketika Ketua Umumnya, Jusuf Kalla (JK), menggebrak panggung politik nasional dengan menyatakan kesediannya untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Dengan kata lain, ia akan pecah kongsi dengan parternya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan akan bersaing pada pilpres Juli yang akan datang.



Pernyataan JK yang terkesan tiba-tiba tersebut disinyalir banyak kalangan karena merasa ”gerah” dengan ucapan salah seorang petinggi Partai Demokrat yang menyebutkan Golkar bisa jadi hanya memperoleh suara sebanyak 2,5 persen pada pileg. Bahkan ada salah seorang elite Golkar yang menegaskan bahwa partai ini merasa terinjak-injak harga dirinya, sehingga tidak perlu lagi untuk melanjutkan ”kemesraan” hubungan dengan Demokrat.



JK ternyata tidak sekadar mengeluarkan pernyataan kesediaan menjadi capres, tetapi juga melakukan langkah-langkah untuk menuju ke sana. Ia melakukan berbagai pertemuan politik dengan elite-elite parpol lain. Setelah memenuhi undangan petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ia kemudian menerima kunjungan petinggi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan belakangan ia melakukan pertemuan politik dengan Megawati Soekarnoputri. Langkah tersebut kian memperkuat spekulasi bahwa JK benar-benar serius dengan tekadnya tersebut.



Tak pelak lagi, kesedian JK yang lebih awal dari kesepakatan semula, yakni menunggu rapimsusnas pasca pileg, disinyalir akan menimbulkan friksi di tubuh partai Pohon Beringin itu. Pasalnya beberapa tokoh Golkar yang lain juga telah menyatakan kesedian maju sebagai capres dari Golkar, seperti Sultan Hamengkubuwono X, Akbar Tandjung dan lain-lain. Sultan tetap akan maju sebagai capres, sementara Akbar Tanjung diam-diam bergerilya ”melamar” sebagai cawapres SBY. Maka, muncullah beberapa faksi yang sekarang membelah Golkar, yaitu pendukung JK sebagai capres, pendukung Sultan dan pendukung JK untuk tetap berduet dengan SBY. Dapat pula ditambahkan di sini faksi Akbar Tanjung, sebab meski di DPP kurang didukung, tetapi di daerah-daerah suaranya masih cukup kuat. Dalam konteks ini, rivalitas tokoh-tokoh Golkar di atas sulit dihindari.



Tetapi benarkah rivalitas tersebut terjadi? Menurut hemat saya, dinamika politik yang terjadi dalam tubuh Golkar saat ini sesungguhnya lebih merupakan skenario Golkar dalam menghadapi pilpres 2009. Dengan kata lain, Golkar tengah membuka banyak ”pintu” untuk mencari peluang kekuasaan yang paling menguntungkan baginya. Para tokoh Golkar ”dibiarkan” seolah bergerak sendiri-sendiri, tetapi pada akhirnya nanti akan mengerucut pada satu tokoh yang paling berpeluang. Pada sisi lain, langkah Golkar tersebut dapat pula dibaca sebagai sinyal bahwa partai ini ingin memperlihatkan posisi sentralnya terhadap parpol-parpol lain. Artinya, Golkar dengan segala kelebihannya akan sangat diperhitungkan oleh parpol-parpol lain dalam menjalin koalisi. Maka, partai ini akan berpeluang menjadi ”pengendali” koalisi parpol.



Rasional-Pragmatis

Apa yang dipertontonkan oleh parpol-parpol dalam membangun koalisi menjelang pemilu 2009 mengindikasikan bahwa corak koalisi tersebut lebih bersifat strategis dan taktis ketimbang ideologis. Kepentingan untuk berbagi kekuasaan (power sharing) di antara berbagai parpol tampaknya sangat besar.



Golkar dalam konteks ini merupakan parpol yang selalu mengedepankan aspek rasional dan pragmatis dalam melakukan move politiknya. Pilihan-pilihan politik Golkar senantiasa didasarkan pada keuntungan dan keselamatan partai ini dalam konstelasi politik nasional. Bagi Golkar, posisi yang dapat menjamin hal tersebut adalah berada di pemerintahan, sekalipun ketuanya tidak menempati orang nomor satu.



Golkar bukanlah parpol dengan kultur ideologis kuat. Kader-kader partai ini tidak terbiasa dengan perjuangan ideologis yang bersifat militan sehingga bersedia melakukan apapun demi menyukseskan capres yang diusungnya. Sebaliknya pilihan-pilihan rasional-pragmatis lebih menarik bagi mereka. Fakta bahwa Golkar sekarang dipimpin JK, seorang pengusaha yang terbiasa berpikir seperti itu, kian mempertegas identitas partai ini. Rekam jejak (track record) JK sendiri pada Pemilu 2004 lalu yang lebih memilih mundur dari konvensi Golkar sebagai capres untuk kemudian berduet dengan SBY meski sebagai cawapres memperlihatkan kecenderungan politik JK.



Pada akhirnya nanti Golkar tidak akan ngotot menggolkan JK sebagai capres jika memang peluangnya kecil. Dengan kata lain, jika memang maqam politik JK hanya berada pada level wapres, maka partai ini tidak akan memaksakan diri. Ketimbang bermain zero-sum game, yang bisa berimplikasi pada kerugian karena terpental dari kekuasaan, lebih baik bagi Golkar bermain save tetapi tetap berada di pemerintahan. Oleh karena itu, saya tidak yakin jika peluang JK untuk kembali berduet dengan SBY telah tertutup sama sekali. Adagium dalam politik yang menyebutkan bahwa tidak ada kawan atau lawan yang abadi kecuali kepentingan itu sendiri tampaknya tetap berlaku.
Rédigé(e) samedi · Commenter · J'aimeJe n'aime plus
Vous aimez.

Rédiger un commentaire...