Rabu, 16 September 2015

Setelah Perombakan Kabinet (Koran Jakarta 14 Agustus 2015)

Oleh Iding Rosyidin*

Iding RosyidinPresiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) akhirnya merombak (reshuffle) kabinet. Ada lima menteri dan sekretaris kabinet yang diganti. Menko Polhukam Tedjo Adhy Purjiatno, Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Adrinof Chaniago, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto dipensiunkan.
Mereka diganti Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menko Polhukam, Darmin Nasution menjadi Menko Perekonomian, Rizal Ramli menduduki Menko Kemaritiman, Thomas Lembong menjabat Menteri Perdagangan dan Pramono Anung selaku Sekretaris Kabinet. Sementara Sofyan Djalil digeser menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.
Isu perombakan kabinet telah lama mengemuka. Hal ini dipicu antara lain persoalan ekonomi yang tidak kunjung membaik sampai hampir satu tahun pemerintahan Jokowi-JK. Indikator paling kasat mata menurunnya kinerja ekonomi karena nilai tukar rupiah yang kian melemah terhadap dolar AS. Belakangan nilainya makin melemah mendekati 14.000 rupiah per 1 dolar AS.
Bukan rahasia lagi, soliditas kabinet ini tidak terlampau kuat. Koordinasi kerja antarmenteri kerap tidak sinkron di mata publik. Yang paling menghebohkan ketika diduga salah seorang menteri menjelek-jelekkan presiden di tempat umum. Apakah perombakan kabinet cukup tepat untuk mengatasi berbagai masalah tadi? Dari sisi kenerja ekonomi, Menko Perekonomian Sofyan Djalil sejak awal memang dianggap tidak mumpuni karena latar belakang dan pengalamannya di bidang ekonomi kurang begitu kuat. Darmin Nasution penggantinya mungkin dianggap lebih mampu karena sebagai mantan Gubernur BI. Dia tentu menguasai masalah moneter, apalagi problem yang tengah dihadapi sekarang kemerosotan nilai tukar rupiah.
Kehadiran Rizal Ramli mungkin bisa menjadi sesuatu yang positif. Mantan menko perekonomian di zaman Pemerintahan Abdurrahman Wahid itu dikenal memiliki kemampuan kuat dalam bidang ekonomi. Meskipun ditempatkan sebagai Menko Kemaritiman, pengalamannya sebagai menko akan cukup membantu. Selain itu, aspek ketokohan Rizal Ramli akan menjadi poin tersendiri untuk kabinet kerja pascaperombakan. Secara psikologis, efeknya terhadap pasar cukup baik.
Hanya, mungkin yang menjadi pertanyaan banyak pihak ditunjuknya Thomas Lembong sebagai Menteri Perdagangan menggantikan Rachmat Gobel. Sebagai pengusaha muda, kapasitasnya masih dianggap belum memadai untuk mengatasi masalah-masalah perdagangan nasional.
Andi Widjajanto diganti Pramono Anung bisa menjadi salah satu perekat soliditas kabinet kerja. Santer diketahui bahwa terjadi kerenggangan hubungan antara Jokowi dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Megawati Soekarnoputri) dalam waktu-waktu terakhir. Jokowi diberitakan mulai jarang berkonsultasi dengan Mega, sehingga hubungan keduanya semakin menjauh.
Menurut PDIP, penyebab renggangnya hubungan Jokowi- Mega adanya orangorang di sekitar Jokowi yang sengaja membatasi gerakan mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu untuk bertemu Mega. Dalam bahasa Ketua Umum PDIP, mereka adalah orang-orang yang menyalip di tikungan. Ironisnya, orang-orang yang dituding tersebut nota bene adalah orangorang yang sebelumnya didukung PDIP seperti Andi Widjajanto.
Dalam konteks inilah, kehadiran Pramono Anung merupakan petanda positif. Dia dikenal sebagai tokoh lama PDIP dan mampu mengartikulasikan berbagai tema. Dia juga dekat dengan Mega. Pramono bisa menjadi jembatan penghubung yang tepat antara Jokowi dan Mega. Bagaimanapun Jokowi tidak bisa mengabaikan Mega karena PDIP-lah pengusung saat pemilihan presiden.

Koordinasi
Persoalan lain yang mesti diselesaikan adalah koordinasi kabinet. Jokowi harus mau mengubah gaya kepemimpinannya supaya koordinasinya berjalan lancar. Kebiasaannya blusukan mungkin perlu ditinjau ulang. Tentu bukan karena dianggap tidak baik, hanya mesti dilihat efektivitasnya.
Indonesia adalah sebuah negara, bukan provinsi, apalagi kabupaten atau kota. Cakupan geografinya sangat luas dan otomatis permasalahannya jauh lebih melimpah. Karena itu, blusukan tidak akan terlalu bermakna kalau terlalu sering dilakukan. Mungkin sesekali saja dilakukan pada tempat-tempat yang memang mendesak sekali untuk dilihat secara langsung.
Mungkin karena kebiasaannya itu Jokowi pada akhirnya kesulitan untuk koordinasi kabinet dengan baik, bahkan dengan wakilnya. Dalam beberapa kasus antara Jokowi dan JK sendiri terdapat perbedaan pendapat yang sayangnya tersajikan di tengah publik. Dalam masalah PSSI, misalnya, Jokowi dan JK memberi pernyataan berbeda. Jokowi cenderung setuju pembekuan, sedangkan JK sebaliknya. Dari sisi komunikasi organisasi, jelas ini sangat tidak baik.
Selain itu, Jokowi sendiri mesti memperbaiki perfoma komunikasinya di hadapan publik. Ia kerap kali membuat blunder dalam berkomunikasi. Salah menyebut tempat kelahiran proklamator Indonesia Bung Karno hanyalah satu dari sekian kekeliruan yang harus segera dibenahi.
Dari perspektif komunikasi, ini bisa mengurangi kredibilitas sebagai komunikator. Padahal kredibilitas, menurut Aristoteles dalam Rhetoric-nya merupakan salah satu faktor utama dari ethos komunikator. Begitu kredibilitas merosot, seorang komunikator akan sulit dipercaya publik. Jika tidak segera diperbaiki, kredibilitas Jokowi bisa bernasib begitu.
Terlepas dari itu semua, pascaperombakan kabinet pemerintahan Jokowi-JK harus segera bekerja keras terutama untuk mengatasi masalah ekonomi. Nilai tukar rupiah harus segera distabilkan karena inilah masalah yang paling rentan untuk merembet ke bidang-bidang lain.

Penulis Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikel dimuat dalam Kolom Opini Koran Jakarta, Jumat 14 Agustus 2015 dan bisa diakses di

NU Setelah Bermuktamar (REPUBLIKA, 8 Agustus 2015)

NU Setelah Bermuktamar
Sabtu, 08 Agustus 2015, 16:13 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) yang ke-33 di Jombang, Jawa Timur, telah berakhir. KH Aqil Said Siroj kembali terpilih sebagai ketua Tanfidziyah PBNU untuk periode 2015-2020.

Said Aqil Siroj memperoleh dukungan 287 suara yang disusul oleh KH As\'ad Ali dengan 107 suara, dan yang terakhir KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) yang menda patkan 10 suara. Sementara, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) yang juga terpilih kembali menjadi rais aam tidak bersedia mengemban amanat tersebut dan digantikan oleh KH Ma'ruf Amin.

Berakhirnya Muktamar ke-33 NU tidak serta-merta membuat persoalan menjadi selesai. Justru yang tampak mengemuka adalah munculnya berbagai persoalan yang berpotensi menjadi ancaman kohesivitas organsiasi sosial-keagamaan terbesar di In - donesia ini. Inilah residu yang kerap kali hadir setiap kali sebuah perhelatan besar semacam muktamar atau kongres diselenggarakan.

Bak partai politik, sejak awal penyelengga raannya muktamar yang diselenggarakan di tempat para pendiri NU ini memang terkesan sangat gaduh. Pembukaan dan beberapa sidang pleno mengalami penundaan karena kerap tidak mencapai kesepakatan di kalangan muktamirin. Hal ini terutama terkait dengan pembahasan sistem utama pemilihan pimpinan NU yang dikenal dengan ahlul halli wal aqdi(AHWA).

Sistem AHWA ini merupakan model representasi di mana orang-orang yang terpilih menjadi anggota AHWA saja yang berhak memilih. Dengan demikian, tidak semua anggota muktamirin berhak memberikan suaranya.

Sistem AHWA inilah yang kemudian menjadi puncak persoalan karena tidak semua pihak sepakat. Bagi para penolaknya, AHWA merupakan bentuk rekayasa politik dari rezim pimpinan NU sekarang. Tak kurang Gus Solah sebagai seorang calon ketua Tanfidziyah PBNU secara terang-terangan menuduh adanya unsur rekayasa untuk memaksakan pemilihan dengan sistem AHWA.

Tuduhan tersebut agaknya cukup beralasan jika melihat perjalanan bagaimana sistem AHWA kemudian diterapkan dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang. Sistem ini ternyata telah dipersiapkan jauh-jauh hari atau pada masa pramuktamar. Bahkan, pada saat pendaftaran muktamar, para peserta diminta untuk mengisi formulir kesediaan untuk menggunakan sistem AHWA dalam muktamar.

Munculnya kelompok-kelompok yang menentang sistem AHWA yang kemudian bermetamorfosis menjadi penolak hasil muktamar jelas merupakan buntut dari penerapan sistem tersebut. Mereka bahkan mengancam akan melalukan muktamar tandingan jika dalam waktu selama tiga bulan ke depan hasil muktamar tidak segera ditinjau ulang.

Potensi perpecahan bukan tidak akan terus bergulir jika tidak segera disikapi secara bijak oleh pimpinan NU terpilih. Apalagi mereka yang merasa kecewa terhadap hasil muktamar adalah para pendukung Gus Solah yang kalah. Lebih-lebih kekalahan Gus Solah terjadi di "rumah"-nya sendiri, tempat di mana ia tumbuh besar bersama para pendiri NU. Tentu kekalahan tersebut terasa cukup menyakitkan terutama di kalangan para pendukungnya.

Inilah pekerjaan rumah terbesar yang mesti diatasi oleh KH Said Aqil Siroj bersama KH Ma'ruf Amin agar soliditas dan kohesivitas NU tetap terjaga dengan baik. Keduanya sebaiknya melakukan akomodasi terhadap kelompok Gus Solah dengan merangkul mereka dalam kepengurusan maupun dalam bentuk lainnya.

Ketidakbersediaan Gus Mus untuk dipilih kembali sebagai rais aam mesti dipahami sebagai sebuah "warning" oleh duet KH Said Aqil Siroj-KH Ma'ruf Amin bahwa memang ada sesuatu yang menggelisahkan hati beliau di dalam tubuh NU. Apalagi ketidak sediaannya itu dibarengi oleh pernyataan Gus Mus yang cukup memperlihatkan bahwa ada masalah besar yang tengah mendera NU.

Independensi
Persoalan lain yang patut menjadi perhatian serius adalah masalah independensi NU. Dalam konteks ini, independensi dapat dilihat dalam kaitannya dengan partai politik dan pemerintah. Pergelaran muktamar kali ini, meski dari awal dikesankan bebas dari kepentingan politik, di mana panitia mencopot semua spanduk dukungan terhadap calon- calon pimpinan di area sekitar mukatamar, tapi aroma politik sulit diabaikan.

Muncul dugaan bahwa selama muktamar banyak orang partai politik yang disusupkan ke dalam muktamar untuk memengaruhi para muktamirin. Jika dugaan ini benar tentu ke depan bakal ada konsesi-konsesi antara NU dan partai politik tersebut. Bagi sebuah ormas sosial-keagamaan, kecenderungan tersebut tentu sangat memprihatinkan.

Dalam kaitannya dengan pemerintah, masalah independensi NU juga bisa dipertanya kan. Meski secara personal, KH Said Aqil Siroj mendukung Prabowo Subianto pada saat Pilpres 2014 yang lalu, tetapi secara umum NU relatif dekat dengan pemerintah.

Jika sinyalemen yang menyebutkan banyaknya orang partai politik tertentu yang masuk dalam muktamar benar, maka kemungkinan besar NU makin dekat dengan pemerintah. Apalagi muktamar dibuka oleh Presiden Joko Widodo dengan menggunakan sarung dan peci yang merupakan "pakaian khas" orang-orang Nahdliyin. Secara semiotika, hal tersebut dapat dimaknai sebagai simbol kedekatan atau kemesraan antara NU dan pemerintah. Dalam situasi seperti inilah independensi akan menjadi persoalan.

IDING ROSYIDIN
Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta