Kamis, 20 Desember 2012

Soliditas (Semu) Demokrat (Seputar Indonesia, Jum'at 21/12/2012)

Barangkali Partai Demokrat merupakan satu-satunya partai di Indonesia sekarang ini yang paling banyak didera masalah. Partai berlambang bintang mercy ini seperti “tak putus dirundung malang,” meminjam judul sebuah novel karya pujangga kenamaan Indonesia, Sutan Takdi Alisjahbana. Setelah kasus tersangkanya Andi Alfian Mallarangeng dalam proyek Hambalang, muncul masalah pencopotan Ruhut Sitompul dari jabatannya di DPP sebagai Ketua Divisi Komunikasi dan Informasi. Keputusan tersebut diambil oleh pengurus harian DPP yang dihadiri Ketua Umum Demokrat, Anas Urbaningrum. Tentu saja keputusan tersebut membuat Ruhut Sitompul, yang terbiasa bicara tanpa tedeng aliang-aling itu, meradang. Da tidak menerima keputusan itu dan menganggap bahwa yang berhak memecatnya dari kepengurusannya di DPP hanyalah Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono. Sampai saat ini pun Ruhut pun masih terus melakukan perlawanan terhadap tindakan pencopotannya dan terus menyuarakan kritik pedas, terutama pada Anas, di berbagai forum. Namun, DPP Demokrat tampaknya tetap bergeming dengan keputusannya. Soliditas Partai Satu hal yang mudah diduga dari keputusan DPP mencopot Ruhut adalah soliditas partai. Dari sisi etika keorganisasian, Ruhut banyak menghadirkan masalah bagi Demokrat karena sering memperlihatkan ketidakkompakan dengan jajaran pengurus lainnya. Tidak jarang dia melontarkan ke publik masalah-masalah internal partai yang seyogianya tidak etis diungkapkan. Selain itu, dia paling getol menyerukan agar Anas mundur dari jabatannya sebagai ketua umum partai. Meskipun demikian, keputusan DPP untuk mencopot Ruhut juga mengandung resiko yang tidak kecil. Ruhut yang tidak menerima keputusan tersebut terus melakukan perlawanan dengan caranya sendiri. Ruhut mengetahui betul berbagai “rahasia dapur” Anas, sehingga bukan tidak mungkin dia akan mengungkapkannya ke publik. Namun sebenarnya yang paling dikhawatirkan bukanlah Ruhut secara personal, melainkan elite-elite Demokrat yang berseberangan dengan Anas, termasuk SBY. Mereka sebenarnya juga tidak setuju dengan tindakan pencopotan tersebut, karenanya ketika Ruhut melakukan perlawanan terhadap Anas, seolah-olah kepentingan mereka terakomodasi dan diam-diam memberikan dukungan. SBY sendiri, meski tidak memperlihatkan pembelaannya secara tegas pada Ruhut, namun sudah bukan Rahasia lagi jika dia tidak menyukai Anas sejak awal. Peran Simbolik SBY Pada awalnya mungkin publik tidak mengira bahwa Anas akan berani membuat keputusan mendepak Ruhut dari DPP yang kerap mendapatkan perlindungan dari SBY. Tetapi tampaknya yang terjadi tidaklah demikian. Anas justeru berani membuat keputusan tersebut tanpa meminta pertimbangan terlebih dahulu pada SBY. Oleh karena itu, keputusan itu dianggap tamparan keras bagi SBY. Dari sini agaknya Anas sudah siap berhadapan head to head dengan SBY. Apakah ini berarti bahwa Anas merasa berada di atas angin atas SBY sehingga tidak terlalu menganggap keberadaannya di Demokrat? Boleh jadi kecenderungannya demikian. Anas adalah tipikal politisi tulen yang sudah terbiasa bergerak dan bergerilya di kalangan kader-kadernya sehingga paham betul peta politik yang dihadapinya. Dia tidak akan membuat keputusan politik yang berani jika memang situasinya tidak benar-benar mendukung dirinya. Dalam hal keputusan mendepak Ruhut, Anas tampaknya sudah memperhitungkannya. Dia yakin bahwa sebagian besar kader Demokrat berada di belakangnya sehingga jikapun harus dibenturkan dengan SBY dia tidak merasa takut. Sekalipun ada kubu lain di Demokrat, yakni Marzuki Alie dan Andi yang identik dengan Cikeas, yang tentu saja mempunyai loyalis-loyalisnya di bawan, namun diyakni mereka tidak akan berani melakukan “perlawanan” secara terbuka. Apa yang terjadi di Demokrat tersebut bisa dilihat dari perspektif teori spiral keheningan (spiral of silence) yang dikemukakan ilmuwan politik Jerman, Elisabeth Noelle-Neumann (1974). Teori ini mengasumsikan bahwa jika opini mayoritas terbentuk, biasanya ada dua pilihan yang dilakukan minoritas: diam atau mengikuti suara mayoritas. Hemat penulis, kader-kader Demokrat yang berseberangan dengan kubu Anas akan lebih memperlihatkan pilihan yang pertama, yakni diam entah karena takut atau sungkan. Elite-elite partai seperti yang berada di dewan pembina saja seperti tidak berdaya untuk “berhadapan” dengan Anas, bahkan merasa kapok melakukannya seperti yang dialami Hayono Isman. Kekuatan Anas semakin terlihat kokoh ketika ia menempatkan loyalis-loyalisnya di pos-pos strategis dan menggeser kader-kader lain yang berseberangan. Andi Nurpati yang notabene loyalis SBY digeser dari jabatannya sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik yang sangat strategis menjadi Ketua Divisi Hubungan Eksternal dan LSM. Posisinya kemudian digantikan oleh I Gede Pasek Suardika yang notabene merupakan kubu Anas. Dengan demikian, SBY kian kehilangan kader loyalisnya di DPP. Anas berani berhadapan dengan SBY, sebaliknya SBY seperti mati kutu. SBY bagaikan orang yang sudah kehilangan wibawa di hadapan kader-kadernya sendiri. Boleh jadi, ke depan SBY akan lebih banyak memainkan peran simbolik saja di Demokrat. Di pihak lain, Anas kian leluasa untuk menancapkan kuku-kukunya di seluruh tubah Demokrat. Dengan kata lain, secara tidak langsung Anas sebenarnya telah “meminggirkan” SBY secara perlahan-perlahan dari “rumah” yang telah susah payah dia rintis. Namun demikian, Anas sebagai ketua umum partai tentu juga harus tetap menjalin komunikasi yang baik dengan SBY, karena bagaimanapun SBY masih tetap menjadi figur sentral dan ikon Demokrat yang tak terbantahkan. Apalagi selain Ketua Dewan Pembina, SBY juga menjabat Ketua Majelis Tinggi Partai yang bertanggung jawab atas pemenangan Pemilu 2014. Sementara waktu yang tersisa kurang lebih satu setengah tahunan lagi. Karena itu, keduanya perlu bergandengan tangan sehingga soliditas partai dapat terjaga dengan baik. Keberhasilan Demokrat untuk membangun soliditas partai guna menyongsong Pemilu 2014 akan sangat bergantung pada kepiawaian Anas dalam melakukan komunikasi dan akomodasi kepentingan dengan berbagai pihak internal partai yang berseberangan dengan diriny, terutama SBY. Kalau tidak, bukan tidak mungkin jika soliditas tersebut hanya bersifat semu.

Senin, 17 Desember 2012

Manajemen Konflik Partai (Suara Pembaruan, Senin 17 Desember 2012)

Partai-partai politik di Indonesia hampir semuanya pernah mengalami keretakan internal yang berujung pada konflik. Sebagian partai bahkan mengalami konflik yang sangat tajam sehingga mengakibatkan perpecahan. Partai-partai baru akibat dari perpecahan tersebut pun kemudian bermunculan dengan nama yang hampir serupa dengan partai induknya. Sebut saja misalnya Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang merupakan pecahan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB) yang notabene pecahan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan lain sebagainya. Konflik, seperti yang diungkapkan Thomas dan Killman (1978), merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai baik dalam diri inividu atau antar individu. Realitas ini biasa terjadi dalam sebuah organisasi seperti partai politik Perbedaan tersebut biasanya tidak bisa dikelola dengan baik oleh para elite partai sehingga alih-alih dapat diredam, justeru kian menajam. Hal ini kian diperparah dengan kecenderungan adanya faksionalisme di tubuh partai politik. Sebenarnya keberadaan faksi di dalam sebuah partai merupakan sesuatu yang wajar dan alamiah, namun jika tidak dimanaje dengan baik justeru dapat mengakibatkan konflik semakin melebar. Kasus Demokrat Apa yang terjadi pada Partai Demokrat belakangan ini, yaitu pencopotan Ruhut Sitompul dari jabatannya di DPP sebagai Ketua Divisi Komunikasi dan Informasi, bisa dipandang dari perspektif di atas. Meskipun sebagian elite Demokrat ada yang berargumentasi bahwa pencopotan tersebut merupakan hal yang biasa, atau sekadar rotasi seperti ditegaskan Saan Mustafa, namun tidak dapat dimungkiri bahwa ada aroma politis di dalamnya. Apalagi Ruhut pada kenyataannya tidak diberikan jabatan baru di DPP alias dibiarkan berada di luar kepengurusan. Dengan demikian, Ruhut hanya menjadi anggota partai biasa. Aroma politis tersebut sangat kental jika melihat pada konteks politik yang terjadi di partai yang berlambang mercy tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa Ruhut kerap berseberangan dengan pemikiran mainstream partai. Selain itu, Ruhut merupakan pengurus partai yang paling sering mengeluarkan pernyataan agar Ketua Umum Demokrat, Anas Urbaningrum, mengundurkan diri untuk sementara, terutama setelah namanya sering disebut-sebut oleh Muhammad Nazaruddin dalam proses pengadilan. Padahal kebijakan partai menegaskan bahwa seorang pengurus harus mau mengundurkan diri jika sudah menjadi tersangka. Sementara Anas sampai saat ini belum dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tentu saja para pengurus harian DPP di bawah pimpinan Anas merasa gerah dengan pernyataan-pernyataan Ruhut tersebut karena bisa mengganggu soliditas partai. Maka, pencopotan pun tidak dapat dihindari. Meskipun Ruhut sendiri menolak pencoporan tersebut dan bersikeras bahwa hanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Ketua Dewan Pembina (Kawanbin) yang berhak mencopotnya, tetapi sulit baginya untuk berada kembali di DPP sebagai pengurus. Dengan kata lain, sudah ada resistensi atas keberadaan Ruhut di Demokrat, setidaknya seperti terlihat pada aksi pengusiran dirinya dari Silaturahmi Nasional (Silatnas) pada Jum’at kemarin. Persoalannya adalah apakah pencopotan Ruhut dari kepengurusan di DPP akan berimplikasi pada keretakan internal partai? Kecenderungan ke arah itu sangat mungkin terjadi apalagi jika kita melihat adanya faksionalisme di tubuh Demokrat itu sendiri. Seperti diketahui bahwa sejak Kongres Demokrat di Bandung beberapa waktu yang lau di mana Anas muncul sebagai ketua umum, ada tiga faksi di partai biru ini, yaitu faksi Andi Alfian Mallarangeng yang dekat dengan Cikeas, faksi Marzuki Alie dan faksi Anas Urbaningrum sendiri. Sampai saat ini tampaknya residu kekalahan pada faksi Andi dan Marzuki masih ada meskipun di permukaan tidak kelihatan. Ruhut sendiri sebenarnya pada awalnya merupakan salah seorang tim sukses Anas pada saat kongres, tetapi belakangan ia lebih merapat ke kubu Cikeas terutama setelah terkuat kasus korupsi pembangunan Wisma Atlit dan Hambalang dengan terdakwa Nazaruddin. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin pencopotan Ruhut dari kepengurusan di DPP akan menyimpan benih “dendam” pada kubu Cikeas terhadap kubu Anas. Komentar dari sejumlah anggota Dewan Pembina Demokrat, meski tidak bernada keras, yang menyayangkan tindakan pencopotan tersebut sebenarnya merupakan sinyal ketidaksetujuan terhadap kebijakan kubu Anas. Manajemen Konflik Seberapa besar potensi konflik yang mungkin muncul dari sebuah kebijakan dalam organisasi apapun, sebenarnya dapat diantisipasi jika para pengurus organisasi tersebut mampu mengelolanya dengan baik. Potensi konflik dari dampak pencopotan Ruhut, misalnya, dapat diredam jika Anas Urbaningrum sebagai ketua umum partai mampu mengelolanya dengan baik setidaknya dengan meminimalisasi potensi konflik tersebut. Pencopotan Ruhut sendiri sebenarnya merupakan salah satu ikhtiar Anas untuk mengambil salah satu yang lebih ringan dari dua hal yang sama-sama merugikan partai. Membiarkan Ruhut berada di dalam kepengurusan tetapi selalu berseberangan dengan pemikiran utama para pengurus lainnya tentu jauh lebih buruk daripada membuatnya di luar kepengurusan. Oleh karena itu, pencopotan Ruhut dari kepengurusan di DPP mau tidak mau harus diambil oleh Anas. Namun satu hal yang tidak boleh dilupakan Anas adalah bagaimanapun Ruhut merupakan orang yang pernah sangat dekat dengan dirinya sehingga mengetahui betul kebaikan sekaligus keburukannya. Maka, jika Ruhut dibiarkan berada di luar kepengurusan dengan rasa dendam yang memuncak akibat dicopot, bukan tidak mungkin Ruhut akan lebih kencang menyuarakan kritiknya. Bahkan mungkin akan lebih nekad dengan “menelanjangi” Anas habis-habisan di muka publik. Dengan kata lain, Ruhut tidak segan-segan untuk mengungkapkan “borok-borok” Anas di muka umum. Jika ini yang terjadi, tentu sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan Demokrat ke depan apalagi akan menghadapi pemilu pada 2014. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen konflik adalah bagaimana elite atau pemimpin organisasi mampu mengarahkan perselisihan pada suatu titik yang berorientasi pada penyelesaian konflik sehingga dapat meminimalisasi potensi konflik tersebut. Salah satu caranya antara lain dengan kesediaan untuk mengakomodasi kepentingan orang yang di dalam konflik tersebut berada di pihak yang “dirugikan”.. Dalam konteks Demokrat, Ruhut sebagai orang yang “dirugikan” karena dicopot dari kedudukannya, seyogianya tetap diakomodasi di dalam partai. Meskipun tidak dalam kepengurusan di DPP, mungkin saja di lembaga lain seperti lembaga non struktural tetapi memiliki garis koordinasi dengan ketua umum. Dengan cara seperti di atas, setidaknya Ruhut merasa tetap dihargai sehingga tidak akan terlalu kencang bersuara miring di luar. Demokrat pun bisa lebih fokus untuk melakukan konsolidasi guna mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2014.