Jumat, 31 Agustus 2012

Menyoal Politisasi Agama (Suara Pembaruan, Jum'at 31 Agustus 2012)

Dunia politik Indonesia tampaknya tidak pernah bisa dilepaskan dari keterlibatan unsur agama, terutama Islam. Oleh karena itu, berbicara tentang politik di negeri ini, juga mesti berbicara tentang agama Islam. Sayangnya, sejauh yang bisa diamati relasi antara politik dan agama lebih sering menampilkan relasi yang tidak seimbang, dalam pengertian bahwa agama lebih menampilkan dirinya sebagai subordinatif terhadap politik. Dengan kata lain, agama lebih banyak dimanipulasikan untuk kepentingan politik kelompok tertentu. Maraknya berbagai aksi kekerasan di republik ini yang secara kasat mata lebih bermotifkan agama, seperti konflik antar aliran, sesungguhnya, jika ditelisik lebih jauh, bermuara pada persoalan politik dan kekuasaan. Apa yang terjadi pada komunitas Syi’ah di Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran Kabupaten Sampang, Madura, baru-baru ini yang telah menelan korban, baik yang meninggal maupun luka-luka, disinyalir memiliki motif politik. Hal ini terkait dengan kepentingan politik kelompok tertentu dalam rangka meraih dukungan massa mayoritas jelang pemilihan kepala daerah (pilkada). Dalam derajat tertentu, kasus maraknya kampanye SARA jelang putaran kedua Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 20 September yang akan datang bisa pula dibaca sebagai bentuk manipulasi agama untuk kepentingan politik. Sejumlah tokoh masyarakat, seperti pedangdut Rhoma Irma, misalnya, secara terang-terangan mengajak pada umat Islam untuk memilih pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) yang seiman seraya mengutip ayat dari Kitab Suci. Bahkan belakangan elite politik pun ikut-ikutan latah mengampanyekan hal serupa seperti yang diperlihatkan Ketua DPR, Marzuki Alie. Akibatnya, suasana politik di kota Jakarta kian memanas. Kampanye hitam (black campaign) baik berupa selebaran ataupun melalui media sosial terus dilancarkan oleh masing-masing pendukung pasangan cagub-cawagub. Bahkan ada kecenderungan bahwa persaingan tajam antar kandidat dengan melibatkan isu SARA tersebut sudah menjurus pada konflik horizontal. Kalau ini tetap dibiarkan, bukan tidak mungkin kekerasan akan meledak. Dampak Buruk Menyeret-nyeret agama ke dalam ranah politik apalagi dilakukan secara manipulatif jelas akan memberikan dampak buruk, bukan hanya terhadap kehidupan politik melainkan juga kehidupan agama pada saat yang sama. Dalam konteks politik, fenomena ini jelas merupakan sesuatu yang kontra produktif terhadap perkembangan demokrasi yang sedang berjalan di negeri ini. Ketika demokrasi sangat menekankan rule of the game dalam berpolitik, selain kebebasan tentu saja, maka tentu menjadi terkendala dengan maraknya aksi kekerasan yang jelas-jelas tidak menghormati rule of the game tersebut. Saat demokrasi begitu menekankan cara-cara yang baik dan beradab untuk mencapai tujuan politik, para penyokong aksi kekerasan justeru seperti ingin menghalalkan segala cara guna meraih apa yang mereka inginkan. Ketika demokrasi lebih mengedepan cara-cara dialogis, negosiasi dan seterusnya, para pelaku kekerasan justeru lebih mengedepankan cara pandang mata kuda; melihat setiap permasalahan secara hitam dan putih. Bagi kehidupan keagamaan sendiri, manipulasi agama untuk kepentingan politik jelas akan menodai agama itu sendiri. Agama, meminjam gagasan teologi pembebasan yang berkembang di Amerika Latin, akan kehilangan fungsi liberatifnya di tengah-tengah pemeluknya. Agama yang sejatinya mampu membebaskan manusia dari sikap-sikap primordilaistik, chauvinistic, kepicikan cara berpikir dan sebagainya, justeru, dengan maraknya fenomena di atas, menjadi factor penumbuh subur sikap-sikap tersebut. Di saat agama seharusnya menjadi penebar kedamaian di muka bumi ini, tetapi justeru, ketika diseret untuk kepentingan politik, menjadi penebar kebencian yang berakibat pada pertumpahan darah. Ketika agama seyogianya mengusung misi profetik-keilahian, oleh para oknum pemegang kedudukan politik dan kekuasaan, agama justeru diperosokkan ke dalam lumpur profan yang kotor. Dengan demikian, agama seolah telah kehilangan jati dirinya di dalam kubangan politik. Political Will Pemerintah Meledaknya aksi kekerasan di kalangan warga yang berkibat pada jatuhnya sejumlah korban, baik meninggal, luka-luka maupun yang trauma, jelas memperlihatkan kelalaian dalam menjalankan tugasnya sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pemberian rasa aman kepada para warganya. Apalagi apa yang terjadi di Sampang sebenarnya bukanlah yang pertama kali, melainkan sudah terjadi sejak lama, sehingga pemerintah seharusnya sudah bisa mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi dan berusaha mencegahnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa penanganan yang dilakukan pemerintah terhadap berbagai peristiwa konflik di sejumlah kasus di Indonesia tidak menyelesaikan masalah sampai tuntas. Pemerintah seringkali hanya mengambil jalan aman (safety player) sekadar hanya menghentikan konflik secara sesaat tanpa menyentuh akar permasalahannya. Akibatnya seperti menyimpan api dalam sekam yang setiap saat dapat meledak jika ada sumbu pemicunya. Oleh karena itu, pemerintah harus berani melakukan berbagai langkah terobosan untuk menghentikan tragedi tersebut. Menurut hemat penulis, ada sejumlah hal yang dapat dilakukan pemerintah dalam situasi seperti ini. Pertama, soft means, yaitu cara-cara yang mengedepankan persuasi dalam mengatasi persoalan konflik. Dialog menjadi satu-satunya metode yang tepat. Kurangnya dialog, seperti yang disinggung Menag Suryadharma Ali, merupakan salah satu pemicu meledaknya konflik. Dalam konteks ini, pemerintah mesti melibatkan kaum ulama secara intensif karena mereka, seperti yang digambarkan Dan Nimmo dalam Komunikasi Politik Khalayak dan Efek (2000), merupakan pemuka pendapat (opinion leader) yang suaranya didengar masyarakat. Jangan sampai, mereka hanya dijadikan seperti yang diungkapkan Azyumardi Azra sebagai pemadam kebakaran saja. Peran mereka tentu sangat penting terutama dalam upaya memberikan pemahaman keagamaan yang lebih toleran dan terbuka terhadap umat. Banyak tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok umat yang memang didasari oleh sempitnya pemahaman keagamaan mereka, sehingga membunuh orang yang tidak sealiran seolah-olah tidak berdosan atau malah dianggap jihad. Kedua, hard means, yakni cara-cara yang bersifat reaktif. Sebagai pihak yang berwenang, pemerintah, dalam hal ini aparat keamanan harus berani menindak tegas siapapun pelaku kekerasan, baik dari kelompok minoritas maupun mayoritas atau bahkan dari kalangan aparat sendiri. Prinsip menegakkan keadilan harus lebih diutamakan. Jangan sampai sinyalemen yang menyebutkan bahwa aparat keamanan selama ini bertindak berat sebelah benar-benar terjadi di lapangan. Tanpa penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu sulit diharapkan tercapai penyelesaian masalah secara utuh. Pemerintah harus berani bersikap bahwa segala bentuk kekerasan baik berupa penyerangan, pembakaran apalagi pembunuhan sekalipun atas nama agama merupakan tindakan yang biadab. Karena itu para pelakunya harus ditindak secara setimpal. Jangan sampai seperti yang pernah (kerap) terjadi dalam kasus seperti ini, pihak korban justeru yang dijadikan tersangka. Ketiga, pemerintah harus mengungkapkan informasi mengenai konflik tersebut secara utuh dan apa adanya tanpa pretense untuk menutup-nutupinya. Sangat mengherankan bahwa pemerintah yang diwakili Menteri Agama mengatakan pada publik bahwa tragedi Sampang tersebut merupakan konflik keluarga. Padahal media-media lokal di Madura menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan konflik sosial. Sebenarnya kalau pemerintah mau dan memiliki political will yang baik masalah tersebut dapat diselesaikan dengan tuntas. Kalau tidak, alih-alih tuntas justeru masalah-masalah serupa akan terus bermunculan di republik ini.

Kamis, 30 Agustus 2012

Kekerasan Politik dan Politik Kekerasan (Pikiran Rakyat, Kamis 30 Agustus 2012

Kekerasan demi kekerasan tampaknya kian akrab di tanah yang konon para penduduknya dijuluki sebagai bangsa yang religius dan cinta damai. Sebuah ironi memang. Tetapi itulah yang kerap terjadi. Sampai-sampai para pakar, baik dari kalangan dalam maupun luar negeri, mencoba menyelami akar permasalahan tersebut secara mendalam: mengapa tidak terdapat paralelisme antara keramahan dengan sikap-sikap yang toleran dan bijak? Salah satu akar persoalan yang menjadi faktor penyebab munculnya aksi kekerasan di Indonesia adalah politik dan kekuasaan. Karena itu, kekerasan demi kekerasan yang terpampang di negeri ini laik disebut sebagai kekerasan politik meskipun berbajukan agama. Dalam konteks ini, agama hanya dijadikan semacam pemantik api atau sumbu yang dapat membakar massa dengan mudah karena wataknya yang sangat sensitif. Dengan kata lain, agama sebenarnya hanya diseret-seret oleh oknum tertentu ke dalam ranah politik untuk kepentingan mereka sendiri. Tragedi yang menimpa komunitas Syi’ah di Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran Kabupaten Sampang, Madura, baru-baru ini yang telah menelan korban, baik yang meninggal maupun luka-luka, disinyalir memiliki motif politik. Hal ini terkait dengan kepentingan politik kelompok tertentu dalam rangka meraih dukungan massa mayoritas jelang pemilihan kepala daerah (pilkada). Kecenderungan seperti ini ternyata tidak hanya khas Madura, namun juga kerap terjadi di daerah-daerah yang lain. Jika analisis ini benar, maka kekerasan politik yang tersuguhkan di republik ini kian mendapatkan justifikasinya yang kuat. Implikasinya tentu sangat mengkhawatirkan terutama terhadap kehidupan politik dan demokrasi yang sedang berjalan secara perlahan-lahan di Indonesia. Ini di satu sisi, pada sisi lain, kehidupan agama juga menjadi sangat terancam. Agama, misalnya, akan kehilangan nilai profetiknya jika diseret masuk ke dalam politik praktis yang “kotor” tersebut. Politik Kekerasan Namun sayangnya, sejumlah aksi kekerasan yang berkali-kali terjadi di depan mata kita, bukan hanya sulit diatasi tetapi justeru memiliki penyokongnya tersendiri. Dengan kata lain, masih ada (atau malah banyak) kelompok di negeri ini yang lebih mengedepankan cara-cara kekerasan ketimbang cara-cara persuasif dalam menyelesaikan persoalan. Parahnya lagi, mereka mencari legitimasi dari ayat-ayat Kitab Suci untuk memuluskan caranya tersebut. Tentu dengan metode penafsiran mereka sendiri. Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak di antara mereka yang berlindung di balik firman-firman Tuhan saat melakukan aksi-aksi yang sebenarnya sudah di luar prikemanusiaan: pembunuhan, pembakaran fasilitas umum, penganiayaan dan sebagainya. Celakanya, kelompok-kelompok semacam ini kerap berkolaborasi dengan elite-elite politik tertentu sehingga terjadingan hubungan yang bersifat simbiosis-mutualistis dalam konteks yang negatif. Pada gilirannya cara-cara kekerasan tersebut kian mendapatkan legitimasi untuk terus dilakukan. Politik kekerasan pun seolah dianggap menjadi sesuatu yang absah. Demikianlah, kekerasan politik dan politik kekerasan seakan mendapatkan tali pertemanan yang kokoh. Tentu saja sebagai publik kita berharap bahwa kecenderungan yang seperti ini harus segera diakhiri atau paling tidak diminalisasi. Menurut penulis, setidaknya ada dua hal yang mesti diperhatikan dalam konteks pencegahan atau pengikisan aksi-aksi kekerasan. Pertama, soft means, yaitu cara-cara yang mengedepankan persuasi dalam mengatasi persoalan konflik. Dialog menjadi satu-satu metode yang tepat. Kurangnya dialog, seperti yang disinggung Menag Suryadharma Ali, merupakan salah satu pemicu meledaknya konflik. Dalam konteks ini, pemerintah mesti melibatkan kaum ulama secara intensif, jangan sekadar dijadikan tambal sulam atau pemadam kebakaran saja, dalam upaya memberikan pemahaman keagamaan yang lebih toleran dan terbuka terhadap umat. Banyak tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok umat yang memang didasari oleh sempitnya pemahaman keagamaan mereka, sehingga membunuh orang yang tidak sealiran seolah-olah tidak berdosan atau malah dianggap jihad. Kedua, hard means, yakni cara-cara yang bersifat reaktif. Sebagai pihak yang berwenang pemerintah, dalam hal ini aparat keamanan harus berani menindak tegas siapapun pelaku kekerasan sekalipun berasal dari kalangan mayoritas. Prinsip menegakkan keadilan harus lebih diutamakan. Jangan sampai sinyalemen yang menyebutkan bahwa aparat keamanan selama ini bertindak berat sebelah benar-benar terjadi di lapangan. Ala kulli hal, apapun motifnya dan siapapun pelakunya, aksi-aksi kekerasan tetaplah merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Dan setiap aksi kekerasan selalu membuka kesempatan untuk aksi kekerasan balasannya. Sehingga alih-alih dapat menyelesaikan masalah kekerasan justeru selalu menciptakan masalah baru.

Jumat, 10 Agustus 2012

Jalan Terjal Foke-Nara (Harian Jurnas, 18 Juli 2012)

Sampai saat ini publik masih diliputi keterkejutan atas kekalahan pasangan kandidat petahana (incumbent) Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) pada putaran pertama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 11 Juli yang lalu. Pasalnya, sebelum digelar pilkada hampir semua lembaga survei menempatkan pasangan Foke-Nara di urutan teratas dengan selisih yang cukup signifikan dari lima pasangan kandidat lainnya. Pasangan ini bahkan sangat percaya diri untuk menang hanya dengan putaran pertama saja. Tentu saja kenyataan yang cukup menyakitkan tersebut membuat jalan pasangan Foke-Nara semakin terjal untuk mengalahkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada putaran kedua di bulan September yang akan datang. Tentu harus ada langkah-langkah evaluatif dari tim sukses pasangan Foke-Nara atas kegagalannya menjadi pemenang sementara pada putaran pertama sehingga dapat membuat perbedaan pada putaran kedua. Langkah Blunder Kekalahan yang diderita pasangan Foke-Nara, meski sebenarnya masih bersifat sementara, agaknya telah membuat mereka terpukul dan panik. Ini terlihat dari sejumlah langkah yang diambil tim sukses (timsesnya) yang bukan tidak mungkin justeru bisa menjadi blunder bagi pasangan tersebut. Ada beberapa hal yang menurut hemat penulis, yang dalam derajat tertentu malah menyulitkan pasangan Foke-Nara meraih simpati publik Jakarta. Pertama, tidak lama setelah penghitungan quick count yang menempatkan pasangan Jokowi-Ahok di peringkat pertama, timses Foke-Nara melemparkan tuduhan adanya kecurangan bahkan politik uang (voter buying) ke kubu Jokowi-Ahok. Tetapi kemudian tuduhan tersebut tidak bisa ditindaklanjuti oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) karena tidak cukup bukti. Bagi publik sendiri, tuduhan kubu Foke terhadap Jokowi terkait politik uang terasa menggelikan. Secara common sense saja peluang untuk melakukan politik uang atau politik transaksional justeru lebih terbuka dilakukan pihak Foke. Selain sebagai petahana yang memungkinkannya untuk “menggunakan” berbagai fasilitas negara untuk kampanye, dana kampanye yang dimiliki Foke juga terbesar dari semua pasangan kandidat. Akibatnya, alih-alih mendapatkan simpati, Foke justeru mendapatkan cibiran dari publik. Kedua, selain tuduhan kecurangan, sekarang juga sudah beredar terutama di group-group BBM mengenai isu primordialisme yang dihembuskan sejumlah orang yang boleh jadi pendukung Foke. Kalimat-kalimat provokatif yang terkait dengan keyakinan dan etnis dari pasangan Jokowi, yakni Ahok, menjadi sasarannya. Isu primordialisme tersebut agaknya akan terus bergulir jika Foke tidak segera bertindak untuk menghentikannya, terlepas dari apakah kalimat-kalimat provokatif tersebut berasal dari pendukungnya atau bukan. Sebab, jika tidak, bukan mustahil tindakan rasialis tersebut akan berdampak negatif pada Foke sendiri. Setidaknya, publik Jakarta akan menilai Foke telah membiarkan para pendukungnya berlaku tidak adil dan picik di saat kecenderungan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi pluralisme, baik suku, ras dan agama. Semboyan bhineka tunggal ika jelas merupakan bukti yang paling sahih dari penghargaan terhadap pluralisme tersebut. Kerja Keras Tidak ada cara lain bagi timses pasangan Foke-Nara selain bekerja lebih keras lagi supaya bisa mengalahkan pasangan Jokowi-Ahok. Hal utama yang bisa dilakukan Foke untuk meraih kemenangan pada putara kedua nanti adalah berupaya lebih meyakinkan partai-partai pendukung yang dimotori Demokrat untuk bekerja lebih solid dan giat daripada kemarin. Dalam konteks ini partai yang harus dilobi Foke dengan segera dan serius adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Perolehan suara PKS yang mencapi 11 persen pada putara pertama jelas sangat signifikan bagi Foke. Foke mungkin diuntungkan dalam situasi ini. Secara ideologis, PKS sebenarnya lebih mudah merapat ke Demokrat daripada PDIP. Dan secara konfigurasi politik nasional, partai dakwah juga berada dalam satu barisan koalisi pendukung pemerintahan bersama Demokrat. Namun bukan berarti langkah tersebut tanpa hambatan sama sekali. Jokowi juga tentu tidak akan diam saja dan mengabaikan kader-kader PKS yang cukup banyak tersebut. Melalui kedekatan hubungan personal dengan Hidayat Nur Wahid, kandidat gubernur yang diusung PKS, yang pernah menjadi tim suksesnya di Surakarta dulu, tentu Jokowi melakukan pendekatan langsung. Apalagi ia telah melakukan silaturahim ke Hidayat mendahului Foke. Sementara itu, fenomena ketidaksinkronan antara keputusan elite partai dengan kader di bawah juga masih terasa. Bukan hal anomali jika sejumlah kader PKS, misalnya, tidak mengikuti garis kebijakan partai terkait dengan pilihan kandidat gubernur dan wakil gubernur DKI. Mereka bisa saja lebih memilih pasangan Jokowi-Ahok ketimbangan Foke-Nara. Apalagi figur Jokowi di mata mereka memiliki kemiripan dengan simbol yang selama ini mereka pegang: bersih, jujur, peduli dan peduli. Foke juga agaknya tidak bisa berharap banyak pada Golkar. Selain jumlahnya kurang signifikan, juga belakangan terjadi “perang dingin” antar kedua partai besar tersebut. Kasus-kasus korupsi yang kini dibuka ke publik dan melibatkan sejumlah kader Golkar disinyalir sebagai “balas dendam” Demokrat terhadap partai beringin. Karena itu, suara kader Golkar di Jakarta sulit diharapkan berpaling ke Foke. Untuk suara golput yang mencapai angka di atas 30 persen sulit dirayu Foke agar mau menjatuhkan pilihan kepadanya. Pasalnya, mereka umumnya orang-orang yang apatis terhadap kehidupan politik di negeri ini yang koruptif, busuk dan sebagainya. Celakanya, penyebab semua itu kerap dialamatkan pada partai politik, apalagi partai yang sedang berkuasa. Lagi-lagi Foke tidak bisa berbuat banyak dalam situasi seperti ini. Dengan demikian, jalan sangat terjal sudah menanti pasangan Foke-Nara pada putaran kedua Pilkada DKI September yang akan datang. Harus ada langkah-langkah super ekstra bagi timses pasangan ini jika tidak ingin kembali dipecundangi oleh Jokowi-Ahok di rumah sendiri.

Jokowi Effect (Harian Sindo, 16 Juli 2012)

Kemenangan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam putaran pertama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 11 Juli lalu sungguh menohok. Pasalnya, dalam catatan hampir semua lembaga survei menjelang digelarnya pilkada pasangan petahana (incumbent) Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) selalu berada di posisi teratas. Sementara pasangan Jokowi-Ahok berada di posisi kedua dengan selisih yang cukup jauh. Namun dalam kenyataannya, dalam penghitungan metode hitung cepat (quick count) pasangan yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Geraka Indonesia Raya (Gerindra) tersebut unggul cukup signifikan dari pasangan Foke-Nara. Menurut data sejumlah lembaga survei, antara lain Lingkaran Survei Indonesai (LSI), pasangan Jokowi-Ahok 43,04% dan Foke-Nara 34,17%. Sedangkan menurut Indobarometer, Jokowi-Ahok 42,2% dan Foke-Nara, 33,8%. Tentu ada banyak faktor yang bisa dianalisis mengenai kemenangan pasangan Jokowi-Ahok yang mengejutkan tersebut sekaligus kekalahan pasangan petahana yang sebelumnya diunggulkan. Mulai dari keengganan publik terhadap pemimpin yang dianggap gagal sehingga mereka mendambakan adanya perubahan, branding kandidat yang terlalu berlebihan, mesin partai yang kurang berjalan baik, sosialiasi kandidat yang tidak maksimal dan sebagainya. Faktor Jokowi Namun dari semua faktor yang dapat memenangkan pasangan Jokowi-Ahok dalam putaran pertama Pilkada DKI adalah Jokowi itu sendiri. Ada sejumlah hal yang bisa dibaca dari Jokowi. Pertama, Jokowi dikenal sebagai orang yang memiliki integritas yang tinggi. Ia dianggap orang yang bersih, jujur dan sederhana karena itu ia menjadi kebanggaan warga Solo sehingga diberikan amanah untuk menjadi wali kota sampai dua periode. Tetapi mengapa publik tidak memilih Hidayat Nur Wahid (HNW) padahal ia juga dianggap sebagai orang yang bersih, jujur dan sederhana? Dalam konteks ini, Jokowi lebih diuntungkan oleh kompetensi yang dimiliki selama menjabat sebagai orang nomor satu di Solo yang dipandang berhasil dalam membangun kota Solo. Tentu publik Jakartapun berharap mempunyai seorang pemimpin yang bukan sekedar bersih, jujur dan sederhana melainkan juga kompeten sehingga bisa mengelola kota Jakarta secara profesional. Kedua, satu hal yang kuat menancap di jiwa Jokowi dan tidak terdapat di kandidat-kandidat lainnya adalah sikapnya yang merakyat. Sikapnya tersebut tampaknya bukan artifisial atau dibuat-buat melainkan sudah menjadi jiwanya. Dalam sebuah acara roadshow salah satu program televisi di Solo, misalnya, Jokowi tanpa sungkan duduk membaur dengan rakyat beralaskan lantai menonton acara tersebut. Seolah tidak ada sekat antara pemimpin dan rakyatnya. Bagi publik ini bisa dibaca sebagai simbol kemanunggalan antara kedua pihak. Ketiga, selain itu, Jokowi ternyata juga seorang yang cukup lincah dalam berpolitik. Jokowilah kandidat yang pertama melakukan silaturahim kepada kandidat lain pada saat penghitungan belum selesai. Meskipun ia menolak untuk menyebutnya sebagai penjajagan koalisi, tetapi bukan tidak mungkin langkah tersebut akan bermuara ke sana. Apalagi, kalau dirunut ke belakang, Hidayat merupakan salah seorang tokoh yang mendukung pencalonan Jokowi sebagai Wali Kota Solo. Dengan demikian, peluang untuk meraih simpati dari para pendukung HNW di putara kedua nanti cukup besar. Semua hal terkait personalitas Jokowi tersebut didukung oleh branding yang tidak terlampau berlebihan yang dibuat oleh tim suksesnya. Baju kotak-kotak yang terus menerus digunakan Jokowi sampai menjelang pilkada, misalnya, jelas sebuah branding yang merupakan simbol kesederhanaan dan kemerakyatan. Iklan yang memperlihatkan Jokowi akrab dengan kalangan menengah ke bawah dan dukungannya terhadap proyek mobil nasional Esemka juga menjadikan ketokohannya semakin kuat sebagai calon pemimpin. Efektifkah Isu SARA? Satu hal yang dikhawatirkan banyak kalangan pada putaran kedua Pilkada DKI pada September mendatang adalah munculnya isu-isu primordialisme terkait agama, suku dan ras. Jelas yang dituju adalah pasangan Jokowi-Ahok. Sebagaimana diketahui bahwa Ahok berasal dari agama dan etnis yang minoritas di republik ini, sehingga ia akan menjadi sasaran empuk para pendukung rivalnya. Sekarang pun di ranah media sosial sudah mulai ada yang menghembuskan isu tersebut. Namun menurut hemat penulis, isu-isu berbau primodialisme tidak akan cukup efektif untuk menggoyang seorang kandidat pada waktu sekarang ini. Ada sejumlah alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, publik hari ini, terutama di Jakarta sebagai kota metropolitas, sudah cerdas yang ditandai antara lain dengan rasionalitas dalam menentukan pilihan politik. Bagi mereka, orang yang mampu mengatasi persoalan-persoalan besar yang dihadapi ibukota seperti kemacetan, banjir dan kriminalitas itulah yang layak dipilih sekalipun bukan berasal dari golongan mereka. Kedua, era primordialisme yang di masa lalu dikenal dengan sebutan politik aliran sudah kehilangan konteksnya. Memang pada masa Orde Baru ketika politik hegemoni rezim Orba begitu dominan yang membuat kalangan islam politik terpinggirkan dari mainstream politik Indonesia, politik aliran cukup efektif. Tetapi hari ini di era reformasi, ketika tidak ada lagi politik hegemoni, hal tersebut sudah tidak bisa diharapkan. Ketiga, pendukung yang menyuarakan isu primordialisme bukan tidak mungkin akan mendapat labelling sebagai kalangan yang ingin menodai prinsip pluralisme yang termanifestasikan dalam kebhinekaan masyarakat Indonesia. Maka, jika mereka benar-benar menyuarakan isu tersebut dalam rangkan menjegal pasangan Jokowi-Ahok justeru akan menjadi bumerang bagi kandidat yang diusungnya. Karena itu, mereka harus berpikir seribu kali jika mau melancarkan isu tersebut. Dari catatan di atas, penulis meyakini bahwa pada putaran kedua nanti peluang pasangan Jokowi-Ahok masih tetap besar untuk kembali memenangkan kontestasi. Memang di pasangan ini, ada kelemahan pada diri Ahok di luar persoalan SARA, antara lain mudahnya ia berganti-ganti partai politik sehingga bisa dicap sebagai kutu loncat. Namun untungnya hal tersebut tertutup oleh ketokohan Jokowi sehingga tidak berpengaruh banyak jikapun dijadikan sasaran serangan. Demikian pula dengan kecenderungan partai-partai koalisi nasional seperti Golkar dan PKS akan mengalihkan dukungan pada pasangan Foke-Nara juga tidak akan berpengaruh signifikan. Masalahnya seringkali keputusan elite-elite politik tidak berbanding lurus dengan aspirasi massa akar rumput. Salah satu faktor kekalahan pasangan yang diusung PKS dan Golkar adalah adanya kecenderungan tersebut. Semua itu tentu akan menjadi kecenderungan yang positif bagi pasangan Jokowi-Ahok. Dengan demikian, Jokowi effect diyakini akan terus memancarkan magisnya pada putaran kedua Pilkada DKI September mendatang. Butuh kerja keras yang luar biasa dari timses Foke-Nara jika ingin mengalahkan pasangan Jokowi-Ahok.