Kamis, 27 Oktober 2011

Pemuda dan Kohesivitas yang Retak (Suara Tangsel 28 Oktober 2011)

Sumpah pemuda pada 28 Oktober 83 tahun silam telah menorehkan tinta emas dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia. Sumpah Pemuda adalah sebuah ikrar politik yang mampu menggetarkan segenap elemen bangsa ketika itu, sehingga semuanya tergerak untuk bersama-sama berjuang melepaskan diri dari belenggu kolonialisme. Ideologi perjuangan para pemuda Indonesia jelas memainkan peranan yang sangat vital.
Tidak dapat dimungkiri bahwa eksistensi kaum pemuda pada masa perjuangan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan sejarah republik ini. Berbagai peristiwa heroik yang melibatkan mereka merupakan pertanda betapa pentingnya kaum pemuda Indonesia kala itu dalam mewujudkan kemerdekaan di bumi pertiwi ini. Tanpa kehadiran mereka barangkali nasib negeri ini belum tentu seperti sekarang.
Lalu pertanyaannya adalah bagaimana keberadaan kaum pemuda pada zaman sekarang, setelah terentang waktu delapan puluh tiga tahun dari peristiwa Sumpah Pemuda yang bersejarah itu?
Salah satu hal yang menjadikan kaum muda bersatu dan menjadi pelopor dalam berbagai gerakan adalah ideologi. Secara fungsional ideologi dapat diartikan sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik. Sedangkan secara struktural ideologi adalah sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa.
Baik menurut pemaknaan secara fungsional maupun struktural ideologi merupakan hal yang sangat penting bagi para penganutnya. Ia menjadi kekuatan pendorong yang sangat kuat atas berbagai tindakan yang mereka lakukan. Ia menjadi ruh yang mampu mengikat kebersamaan dan pada saat yang sama mengeliminasi perbedaan di antara mereka.
Berbagai aksi kaum pemuda pada masa perjuangan kemerdekaan, tak pelak lagi, didasari dan disemangati oleh sebuah ideologi yang sangat kuat, yaitu anti-kolonialisme dan imperialism. Mereka menghendaki sebuah masyarakat dan negara (Indonesia) yang merdeka, karenanya mereka berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkannya. Ideologi itu menjadi sistem pembenaran atas tindakan mereka dan menjadi kekuatan yang memersatukan mereka. Perbedaan suku, bahasa, agama dan sebagainya tidak lagi menjadi penghalang.
Sementara pada diri kaum pemuda masa kini kita sulit menemukan sebuah ideologi yang mampu menjadi semanagat kebersamaan (esprit de corps) dalam kiprah mereka di tengah masyarakat. Alih-alih, mereka justeru tergagap-gagap atau gamang dalam menghadapi berbagai ideologi dunia yang menyergap mereka. Era globalisasi yang memungkinkan berbagai hal bisa memasuki relung-relung kehidupan manusia di belahan dunia manapun tanpa dapat dicegah kian memperparah kondisi itu.
Salah satu dampak globalisasi yang menghinggapi kaum pemuda masa kini adalah gaya hidup hedonistik-konsumeristik-kapitalistik. Inilah ideologi dunia yang jika dibiarkan akan membawa kaum pemuda ke dalam jurang kehidupan yang dalam. Sebab, ideologi ini akan membuat mereka terlena dengan kehidupan yang serba nikmat, nyaman, dan berbagai kemewahan lainnya. Akibatnya, mereka akan lupa terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan yang sesungguhnya memerlukan sentuhan tangan kaum pemuda.

Kohesivitas yang retak
Selain tren gaya hidup hedonistik, hal lain yang dihadapi kaum muda dewasa ini cukup banyak. Salah satunya adalah masalah kohesivitas di antara mereka dalam menghadapi berbagai persoalan sosial-politik yang mendera mereka. Kohesivitas, seperti ditegaskan Irving Janis dalam bukunya Victims of Groupthink (1972), adalah batasan hingga di mana anggota-anggota suatu kelompok bersedia untuk bekerja sama. Dengan kata lain, kohesivitas merupakan rasa kebersamaan dari kelompok tersebut.
Pemuda sebagai salah satu kelompok dalam masyarakat sesungguhnya diharapkan mampu memperteguh kohesivitas di kalangan mereka seperti hanya para pemuda zaman kemerdekaan. Frasa yang begitu terkenal hingga saat ini, yaitu “Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa” adalah cermin dari kohesivitas yang kuat di kalangan mereka.
Kalau kita saksikan sekarang ada beberapa kecenderungan dari kalangan pemuda masa kini yang memperlihatkan dengan jelas lemahnya kohesivitas. Pertama, lunturnya ideologi kebangsaan di antara mereka karena kuatnya godaan gaya hidup hedonistik. Akibatnya, mereka cenderung tidak memedulikan persoalan-persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang sesungguhnya begitu berjibun di negeri ini. Sebaliknya, mereka justeru lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat instant, cepat memerolah kekuasaan, kekayaan dan sebagainya.
Kedua, kecenderungan primordialisme di kalangan pemuda masa kini juga cukup kentara. Bahkan dalam derajat tertentu, kaum muda tidak segan-segan untuk diperalat demi mendukung orang atau kelompok tertentu. Dengan demikian, alih-alih mengeliminasi perbedaan seperti halnya kaum muda dulu, mereka justeru mempertebal perbedaan tersebut.
Ketiga, kaum muda masa kini juga seringkali menjadi bagian dari masalah yang dihadapi di negeri ini. Berbagai aksi kekerasan horisontal yang belakangan marak terjadi di negeri ini justeru melibatkan banyak kaum muda. Jadi, bagaimana mungkin kaum muda masa kini akan menjadi pelopor perjuangan jika mereka sendiri malah acap menimbulkan masalah.
Oleh karena itu, yang harus dilakukan para pemuda masa kini jika ingin dipandang dan dikenang seperti para pemuda di zaman dulu adalah merevitalisasi nilai-nilai sumpah pemuda. Revitalisasi tidak mesti berbentuk ikrar verbal, tetapi lebih pada komitmen bersama untuk mengisi kemerdekaan dengan berbagai aksi nyata seperti pengentasan kemisikinan, pencerdasan bangsa dan sebagainya. Komitmen seperti ini pada gilirannya akan menjadi nilai bersama yang akan menjadi penguat kohesivitas di kalangan kaum muda.

*Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Ilmu Politik FSH UIN Jakarta

PKS Pasca Reshuffle

Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah selesai digelar pada 14 – 15 Oktober kemarin. Rapimnas ini menjadi penting karena diselenggarakan bersamaan dengan momentum perombakan (reshuffle) kabinet yang tengah digodok oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apalagi ada isu yang beredar di tengah publik bahwa salah seorang menteri yang berasal dari PKS akan dicopot.
Pertanyaannya adalah mengapa PKS begitu “kalang kabut” menghadapi persoalan perombakan kabinet sementara partai-partai lain di dalam koalisi pendukung pemerintahan SBY-Boediona terkesan adem ayem saja? Apakah hal tersebut menunjukkan bahwa PKS sudah tidak nyaman berada di dalam koalisi pendukung pemerintahan ataukah hanya sekadar manuver politik untuk menaikkan bargaining position di hadapan SBY?


Merusak Pencitraan
Sejak wacana perombakan kabinet mencuat ke tengah publik selama kurang lebih tiga mingguan PKS merupakan satu-satunya partai di dalam koalisi yang paling banyak melakukan manuver politik. Salah seorang petinggi PKS, misalnya, mengatakan bahwa perombakan kabinet tidak perlu dilakukan karena orientasinya lebih pada penumpukan modal untuk Pemilu 2014. Lalu ketika muncul isu bahwa salah seorang menteri dari PKS akan dicopot, elite partai ini mengancam akan membeberkan kontrak politik khusus antara PKS dengan SBY dan bahkan akan menarik semua kadernya dari pemerintahan. Dengan kata lain, partai kader ini akan keluar dari barisan koalisi pendukung pemerintahan.
Bukan tidak mungkin bahwa apa yang dilakukan para elite PKS tersebut didasarkan pada pemahaman mereka terhadap psikologi politik SBY. SBY selama ini dianggap sebagai orang yang cenderung lebih mementingkan harmoni dan tidak berani melakukan tindakan frontal terhadap kawan koalisinya. Dalam pemikiran para elite PKS, SBY tidak akan benar-benar berani “mendepak” mereka dari koalisi sekeras apapun sikap mereka, karena SBY akan lebih mementingkan stabilitas pemerintahan.
Namun demikian, yang boleh jadi tidak disadari oleh para elite PKS adalah bahwa model komunikasi politik yang mengancam dan menakut-nakuti seperti yang dipertontonkannya sesungguhnya justeru bisa menjadi “blunder” politik bagi partai ini ke depan, terutama terkait dengan pencitraan partai. Ada beberapa hal yang dapat dibaca oleh publik terkait dengan perilaku politik PKS di atas.
Pertama, sikap ngotot PKS untuk tetap mempertahankan menterinya di kabinet bahkan dengan cara mengancam justeru memperlihatkan ke publik betapa partai ini –tak ubahnya seperti partai-partai lainnya—kemaruk terhadap kekuasaan. Tentu hal ini berbanding terbalik dengan pencitraan partai yang selama ini kerap digambarkan sebagai partai dakwah yang tujuan politiknya bukanlah kekuasaan.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika sebagian publik pada akhirnya melihat sikap politik PKS tersebut sebagai sebuah bentuk kemunafikan. Dalam perspektif teori dramaturgi Erving Goffman, apa yang diperlihatkan para elite PKS di panggung depan (front stage) ternyata jauh berbeda dengan apa yang terjadi di panggung belakang (back stage). Partai yang kerap menampilkan dirinya di hadapan publik sebagai partai bersih, peduli dan profesional ternyata tidak seindah seperti yang digambarkan di dalam kenyataannya.
Kedua, tudingan PKS bahwa perombakan kabinet yang akan dilakukan SBY berkaitan dengan upaya penumpukan modal untuk Pemilu 2014 justeru akan menjadi bumerang politik karena bisa berbalik pada dirinya. Sebab, dengan ngototnya partai ini untuk mempertahankan menterinya di kabinet malah membuktikan bahwa partai ini juga tengah melakukan hal yang serupa. Sudah bukan rahasia lagi di negeri ini bahwa jabatan menteri selalu dijadikan lahan yang gemuk bagi partai untuk mendapatkan “gizi” politik. Dengan demikian, boleh jadi publik akan menilai bahwa sikap PKS tersebut memperlihatkan seolah-olah mereka tidak rela “penggemukan” partai yang selama ini sedang dilakukan menjadi terganggu dengan perombakan kabinet.
Ketiga, manuver politik PKS boleh jadi juga akan dipandang sebagai tindakan yang overacting dan kekanak-kanakan. Mereka tidak ubahnya seperti anak-anak yang tengah asyik bermain, lalu mainannya tiba-tiba ada yang merebut, sehingga mereka menangis meraung-raung, melemparkan segala sesuatu yang ada didekatnya kepada orang yang merebutnya dan seterusnya. Mereka hanya bisa berhenti ketika mainannya itu dikembalikan. Sikap seperti jelas akan merugikan partai ini di masa depan.

Dilema Politik
Banyak kalangan menilai bahwa manuver politik PKS tersebut sesungguhnya hanya dilakukan setengah hati, dan pada akhirnya mereka tetap akan “menyerah” kepada SBY. Memang waktu rampinas kemarin sempat ada suara yang menghendaki agar partai ini keluar dari koalisi bahkan suaranya cukup berimbang dengan mereka yang menginginkan tetap berada di dalam koalisi. Namun, di akhir rapimnas PKS memutuskan untu tetap berada di dalam koalisi.
Tampaknya PKS menghadapi dilema dalam mengambilkan sikap politik yang tegas untuk benar-benar keluar dari koalisi. Ada beberapa hal yang mereka pertimbangkan. Pertama, agaknya mereka menyadari benar bahwa akses ekonomi dan politik yang sedang mereka nikmati saat ini jelas sulit untuk diperoleh jika mereka tidak berada di dalam koalisi, sementara pemilu hanya tinggal kurang dari tiga tahun. Tentu kondisi ini tidak akan menguntungkan buat persiapan partai apabila memutuskan keluar dari koalisi.
Kedua, akses untuk memberikan pengaruh pada pemerintahan atau SBY secara khusus tentu saja tidak bisa dilakukan kalau mereka berbalik menjadi partai oposisi. Dalam derajat tertentu, PKS cukup berhasil dalam hal ini sehingga mereka merasa nyaman bergandengan dengan SBY. Oleh karena itu, mereka pasti akan merasa kehilangan sekali jika hal tersebut kemudian dilepaskan begitu saja.
Ketiga, untuk mengambil sikap politik oposisi seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tampaknya PKS tidak siap. Selain karena mereka tidak memiliki kultur oposisi sehingga tidak akan mampu bertahan lama kalau harus memaksakan diri keluar dari barisan koalisi, juga biaya sosial dan politik yang harus mereka keluarkan akan sangat banyak.
Alhasil PKS akan tetap memilih berada di dalam koalisi sekalipun harus merelakan salah seorang menterinya dicopot. Agaknya prinsip lebih baik kehilangan satu daripada kehilangan semuanya menjadi pilihan PKS.

*Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute dan Dosen Ilmu Politik FSH UIN Jakarta.

Sabtu, 22 Oktober 2011

Urgensi Wakil Menteri

Drama reshuffle kabinet yang tengah dipertontonkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata menyimpan sebuah kejutan untuk para penonton (publik). Tiba-tiba SBY meng”audisi” sejumlah orang untuk menduduki pos wakil menteri di sejumlah kementerian. Sayangnya, kejutan yang diberikan sang aktor utama dari drama tersebut alih-alih membuat publik terpuaskan, justeru membangkitkan kekecewaan bahkan pandangan miring.
Beberapa calon wakil menteri yang telah diaudisi SBY adalah Ali Ghufron Mukti sebagai Wakil Menteri Kesehatan; Sapta Nirwandar sebagai Wakil Menteri Kebudayaan dan Pariwisata; Wardana sebagai Wakil Menteri Luar Negeri; Musliar Kasim sebagai wakil Menteri Pendidikan Nasional bidang Pendidikan; Wiendu Nuryanti sebagai Wakil Menteri Pendidikan Nasional bidang Kebudayaan; Mahmudin Yasin sebagai Wakil Menteri BUMN; Bayu Krisna Murti sebagai Wakil Menteri Perdagangan; Mahendra Siregar sebagai Wakil Menteri Keuangan; Rusman Heriawan sebagai Wakil Menteri Pertanian; dan Eko Prasojo sebagai Wakil Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi.
Bagi banyak kalangan penunjukan beberapa orang calon wakil menteri tersebut menimbulkan sejumlah pertanyaan. Apakah memang urgen mengisi pos wakil menteri untuk meningkatkan kinerja kementerian sementara waktu yang tersisa kurang dari tiga tahun? Ataukah langkah tersebut sebagai bentuk kompromi politik SBY dengan partai-partai koalisi pendukungnya?

Kontra Produktif
Dilihat dari berbagai perspektif pun pengangkatan wakil menteri pada saat sekarang tampaknya kurang tepat. Bahkan boleh jadi akan menjadi kontra produktif dengan upaya peningkatan kinerja kementerian yang sesungguhnya menjadi tujuan utama dari perombakan kabinet.
Menurt hemat penulis, ada sejumlah alasan yang bisa dikemukakan sebagai argumentasi bahwa langkah tersebut kontra produktif. Pertama, dari sudut pandang konstitusi, yang dikategorikan sebagai pembantu presiden adalah menteri, sementara wakil menteri tidak termasuk. Oleh karena itu, dalam rapat-rapat kabinet, misalnya, wakil menteri tidak diundang kecuali kalau menteri terkait berhalangan hadir. Dengan demikian, keberadaan wakil menteri sebenarnya tidak signifikan, karena hanya sebatas pengganti saja.
Kedua, di setiap kementerian sebenarnya sudah ada jabatan sekretaris jenderal, direktur jenderal dan inspektur jenderal. Seharusnya untuk meningkatkan kinerja suatu kementerian yang mesti dioptimalisasikan adalah mereka-mereka tersebut, bukan dengan mengangkat pejabat baru. Dengan demikian, penambahan pos baru dapat dikategorikan sebagai langkah yang mubazir dan bahkan merupakan pemborosan uang negara.
Ketiga, pengangkatan wakil menteri jelas tidak sejalan dengan upaya reformasi birokrasi yang justeru sedang digalakan oleh pemerintahan SBY-Boediono. Menambah pejabat baru di sebuah kementrian jelas membuatnya semakin gemuk. Padahal isu perampingan birokrasi demi meningkatkan efektivitas merupakan problem utama yang harus diselesaikan dalam birokrasi kita. Dengan kata lain, efektivitas yang sebenarnya mesti dikedepankan, justeru kian terkendala.
Keempat, langkah SBY tersebut juga bisa dikatakan sebagai inkonsistensi pemerintah dalam mengeluarkan sebuah kebijakan. Belum lama ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium PNS yang mulai efektif berlaku sejak 1 Agustus 2011 sampai 2012. Ini berarti, selama kurun waktu tersebut pemerintah tidak akan mengangkat pegawai negeri. Dengan demikian, penambahan pos wakil menteri seolah-olah berlawanan dengan kebijakan tersebut.

Kompromi Politik
Dari catatan di atas dapat ditegaskan bahwa pengangkatan pos wakil menteri tersebut jelas tidak semata-mata bertujuan untuk meningkatkan kinerja kementerian, melainkan ada tujuan politis tertentu. Sekalipun pihak istana menepis tudingan tersebut, namun publik yang cerdas tentu mampu mengendus aroma politis yang memang sulit ditutup-tutupi.
Tidak dapat dimungkiri bahwa ada nuansa kompromi politik di balik langkah tersebut. SBY agaknya tidak bisa berubah. Karakternya yang terlampau hati-hati atau peragu, tidak berani ambil resiko dan sebagainya tetap menonjol dalam perombakan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2. Keistimewaan konstitusional yang dimilikinya menjadi tidak berguna sama sekali dalam kondisi seperti itu.
SBY agaknya tetap tidak mau bersitegang dengan partai-partai koalisi yang mendukungnya di parlemen meskipun ada di antaranya yang kerap melakukan manuver politik jelang reshuffle. SBY lebih memilih untuk tetap “merangkul” semua partai koalisi daripada harus ditinggalkan oleh mereka bahkan oleh salah satu dari mereka. Oleh karena itu, tidak akan banyak menteri-menteri yang berasal dari partai koalisi yang akan diganti oleh SBY.
Bagi SBY pilihan semacam ini tampaknya dianggap paling aman dan nyaman bagi dirinya dan pemerintahan. Namun di mata publik, pilihan tersebut justeru memperlihatkan betapa SBY tetap “tersandera” oleh politik koalisi. SBY seolah tidak berdaya berhadapan dengan partai-partai koalisi. Ini terlihat dari konsultasi SBY yang dilakukan dengan ketua-ketua umum parpol, sesuatu yang sebenarnya tidak mesti dilakukan jika mengingat bahwa pergantian menteri itu merupakan hak prerogratif presiden.

Minggu, 09 Oktober 2011

Menonton "Sinetron" Reshuffle Kabinet (Harian Pikiran Rakyat Senin, 10 Oktober 2011)

Menonton "Sinetron" Reshuffle Kabinet
Oleh: Iding R. Hasan

Perombakan (reshuffle) Kabinet Indonesia Jilid II yang ditargetkan selesai sebelum tanggal 20 Oktober hampir mendekati detik-detik akhir. Ibarat sebuah sinetron, episode demi episode telah ditayangkan di layar besar seluruh negeri dengan pelakon utamanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di mana hampir seluruh rakyat menontonnya.
Pertanyaannya adalah mengapa perombakan kabinet tersebut dibuat sedemikian dramatis? Bukankah SBY, dengan hak prerogratifnya, sebenarnya bisa langsung menunjuk calon-calon menteri baru di jajaran pemerintahannya tanpa harus menimbulkan hiruk pikuk di tengah publik?

Pendekatan Dramatisme
Untuk menganalisis model perombakan kabinet ala SBY pendekatan dramatisme Kenneth Burke tampaknya cukup tepat. Pendekatan ini, sebagaimana dijelaskan Burke dalam salah satu karyanya A Rhetoric of Motives (1950), mengonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah drama dengan memfokuskan perhatiannya pada adegan dari para pemainnya. Adegan tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam menyingkap motif manusia atau pelaku adegan. Di antara sekian banyak motif, Burke menyebut motif rasa bersalah (guilty) yang utama. Tujuannya justeru untuk menebus rasa bersalah tersebut sehingga kemudian mendapatkan pemaafan publik. Sayangnya, seringpula terjadi, untuk menampilkan dirinya bebas dari kesalahan justeru dengan menyalahkan pihak lain.
Apa yang disajikan SBY di Cikeas belakangan ini tampaknya bisa dilihat sebagai bentuk upaya SBY untuk “membersihkan diri”. Bahwa dirinya bukanlah pihak yang harus disalahkan jika apa yang telah dilakukan KIB II selama ini belum sesuai dengan harapan publik. Akan tetapi, para pembantunyalah yang mesti dianggap kurang capable dalam menjabarkan dan menjalankan apa yang telah diinstruksikannya. Maka, mengganti menteri, berdasarkan cara pandang seperti in, merupakan sesuatu yang logis.
Padahal sesungguhnya, dalam prinsip kepemimpinan, tidak berjalannya suatu organisasi, baik dalam lingkup yang kecil maupun besar, merupakan tanggung jawab pemimpin. Dengan kata lain, pemimpinlah seharusnya yang mesti menanggung kesalahan, tanpa menimpakannya kepada bawahannya. Tindakan “cuci tangan” bagi seorang pemimpin bukanlah hal yang patut. Dalam konteks ini, SBY seolah Cuma ingin cuci tangan atas segala kekurangan pemerintahannya.
Pada sisi lain, dengan mekanisme perombakan kabinet yang bak sinetron tersebut, SBY agaknya ingin memperlihatkan pada publik bahwa ia merupakan orang yang sangat hati-hati, mendengarkan aspirasi publik dan sebagainya. Bahkan dengan menjadikan Cikeas yang notabene kediaman pribadi, sebagai pusat penggodokan penggantian menteri, SBY seolah-olah ingin dikesankan sebagai pekerja keras, yang tidak mengenal lelah dan waktu.
Namun, yang kurang disadari oleh SBY adalah bahwa publik saat ini merupakan penonton-penonton kritis yang tidak mudah dikelabui oleh alur cerita sebuah sinetron. Publik tampaknya sudah memahami bahwa “kesemarakan” Cikeas akhir-akhir ini tidak lebih dari sebuah sandiwara belaka di mana tujuan utamanya adalah tidak jauh dari pencitraan. Sebagian besar publik barangkali sudah bisa menebak episode akhir dari “sinetron” perombakan kabinet tersebut.
Publik yakin bahwa SBY pada akhirnya tidak akan bisa melepaskan dari “kerangkeng” politik (koalisi). Bukan saja karena SBY tidak mampu melepaskannya, melainkan ia seolah-olah membiarkan dirinya “terkerangkeng” oleh kepentingan politik tersebut. Isu adanya koalisi spesial antara partai-partai di dalam koalisi pendukung pemerintahan (Sekretariat Gabungan) memperlihatkan dengan jelas kecenderungan tersebut.
Bahwa di langkah awal perombakan kabinet SBY terlebih dahulu berdiskusi dengan Wapres Boediono dan Ketua UKP4 Kuntoro Mangkusubroto sebagai bentuk langkah profesional, tetapi hal tersebut tidak menjadi jaminan utama. Masalahnya setelah itu SBY juga bertemu dengan pimpinan parpol koalisi yang tentu saja memiliki peluang untuk membuyarkan hasil diskusi sebelumnya. Pengalaman sebelumnya, SBY agaknya tidak berdaya menghadapi “tekanan” parpol koalisi, terutama parpol besar.
Jika ini yang terjadi, tidak berlebihan kalau perombakan kabinet ala SBY disebut sebagai sinetron. Maka, siap-siaplah para penonton untuk tidak puas dengan sinetron tersebut.

*Penulis, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad, Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Kamis, 06 Oktober 2011

Komodifikasi Lewat Ayu Ting Ting (Suara Merdeka, 7 Oktober 2011)

Sekadar berbagi tulisan saya di Harian Suara Merdeka Jum'at 9 Oktober 2011. Semoga bermanfaat.

Komodifikasi Lewat Ayu Ting Ting

Iding R. Hasan*

Belakangan ini nama Ayu Rosmalina yang lebih populer dengan sebutan Ayu Ting Ting mendadak menjadi buah bibir hampir semua kalangan masyarakat Indonesia. Berita-berita infotainment tak henti-hentinya dari pagi hingga petang mengupas berbagai sisi kehidupannya, tidak hanya soal lagu "alamat palsu" yang sukses melambungkan namanya di jagat hiburan tanah air.
Dalam teori ekonomi-politik media yang diperkenalkan Vincent Mosco dalam buku The Political Economy of Communication (1996), ada satu konsep yang dapat menjelaskan fenomena Ayu Ting Ting, yaitu komodifikasi. Komodifikasi menjelaskan bahwa media memanfaatkan isi (pemberitaannya) dilihat dari kegunaannya sebagai komoditas yang dapat dipasarkan atau dijual.
Fenomena Ayu Ting Ting juga pernah dialami selebriti dadakan seperti Sinta-Jojo yang dikenal dengan lipsyn lagu “Keong Racun” dan Briptu Norman Kamaru yang populer setelah diunggah di Youtube membawakan lagu India “Chaiyya-Chaiyya”. Namun dibandingkan dengan para pendahulunya tersebut, tampaknya Ayu Ting Ting akan lebih fenomenal dan bertahan lebih lama. Hal ini, menurut hemat penulis, karena sejumlah faktor pendukung.
Pertama; momentum yang didapat Ayu Ting Ting sangat tepat. Musik dangdut yang sebetulnya sangat populer di negeri, bahkan disebut musik asli Melayu, belakangan ini sedang kalah pamor. Genre musik pop Melayu yang mendayu-dayu mulai mampu menggesernya. Terkini, demam boy band dan girl band tumbuh bak cendawan di musim hujan. Setiap acara musik di televisi baik live ataupun tunda selalu diramaikan oleh kehadiran mereka.
Oleh karena itu, ketika dangdut muncul di tangan Ayu Ting Ting seolah ada kerinduan yang begitu tinggi dari pencinta musik di tanah air. Apalagi irama dangdut yang dibawakan Ayu begitu riang dan easy listening. Hal ini ditambah dengan penampilan Ayu yang lebih ngepop –dia sendiri penggemar group band korea—yang berbeda dengan umumnya para pedangdut wanita di negeri ini. Tak aneh kalau dalam sekejap Ayu mampu menjadi magnet yang sangat kuat daya tariknya.

Eksploitasi
Kedua; Ayu sebenarnya tidak bisa dibilang selebritis dadakan seperti Briptu Norman dan Sinta-Jojo. Ia telah cukup lama berkecimpung dalam dunia entertainment, bahkah sejak usia kanak-kanak. Lagu “Alamat Palsu” yang menghebohkan itupun sesungguhnya berasal dari album ‘Geol Ajep-Ajep” yang dirilis sejak tahun 2007, artinya, ada selang waktu sekitar 4 tahun untuk bisa mengangkat Ayu ke kancah musik dangdut secara nasional. Sebuah kurun waktu yang tidak bisa dibilang singkat, terutama jika dibandingkan dengan mereka yang hanya dengan “lima menit” di Youtube langsung menikmati ketenaran.
Ketiga; sikap dan perilaku (attitude) Ayu juga tampaknya cukup mendukungnya untuk menjadi seorang penyanyi profesional. Dalam sejumlah penampilan, seperti wawancara dengan media massa, ia bisa menempatkan diri dengan baik dan memberikan jawaban-jawaban yang sepatutnya. Beberapa gesture tubuh yang diperlihatkannya juga cukup membuat orang respek. Tidak sedikit selebritis dadakan yang tidak mampu memperlihatkan sikap dan perilaku yang memadai.
Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki Ayu Ting Ting tersebut di atas, tidaklah mengherankan kalau ia akan terus menjadi “lahan empuk” pemberitaan media massa. Dalam konteks ini, memang terdapat hubungan yang saling menguntungkan (mutualisme simbiosis) antara Ayu dan media. Namun, yang perlu dicermati juga adalah bahwa ketika pemberitaan tersebut dilakukan secara masif dan terus menerus dalam derajat tertentu juga bisa membawa efek buruk.
Yang paling dikhawatirkan adalah adanya kecenderungan eksploitasi, terutama oleh media infotainment terhadap Ayu. Indikatornya adalah bahwa segala hal yang terkait dengan kehidupan Ayu, sekalipun bersifat pribadi, dieskpos secara besar-besaran yang kerapkali tanpa pertimbangan nilai yang ketat.
Argumentasi pihak media infotainment bahwa pemberitaan berbagai sisi kehidupan artis tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban publik dari yang bersangkutan tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Sebab, pertanggungjawaban publik artis sebenarnya terkait dengan karir profesionalnya. Kalau dia seorang penyanyi, maka karir kepenyanyiannyalah yang harus dimintakan pertanggungjawaban publiknya, demikian pula kalau dia seorang aktor, dan begitu seterusnya.

*Penulis, Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Ayu Ting Ting dan Komodifikasi Media

Belakangan ini nama Ayu Rosmalina yang lebih populer dengan sebutan Ayu Ting Ting mendadak menjadi buah bibir hampir semua kalangan masyarakat Indonesia. Berita-berita infotainment tak henti-hentinya dari pagi hingga petang mengupas berbagai sisi kehidupannya, tidak hanya soal lagu "alamat palsu" yang sukses melambungkan namanya di jagat hiburan tanah air.

Gejala Komodifikasi
Dalam teori ekonomi-politik media yang diperkenalkan Vincent Mosco dalam buku The Political Economy of Communication (1996), ada satu konsep yang dapat menjelaskan fenomena Ayu Ting Ting, yaitu komodifikasi. Komodifikasi menjelaskan bahwa media memanfaatkan isi (pemberitaannya) dilihat dari kegunaannya sebagai komoditas yang dapat dipasarkan atau dijual.
Dari sudut pandang ini, Ayu Ting Ting telah dijadikan "komoditas" yang dipasarkan karena memiliki nial jual tinggi. Selama Ayu Ting Ting memiliki nilai jual yang tinggi, maka media-media massa, terutama media infotainment, baik cetak maupun elektronik, akan terus memberitakannya.
Di sinilah letak logika kapitalistik dari konsep komodifikasi. Ayu telah mampu menjadi akumulator kapital yang luar biasa. Bayarannya pun semakin hari semakin meningkat secara drastis. Oleh karena itu, media-media massa makin gencar dan masif memberitakannya.
Fenomena Ayu Ting Ting juga pernah menimpa kepada sejumlah selebriti dadakan seperti Sinta-Jojo yang dikenal dengan lipsyn lagu Keong Racun; Briptu Norman Kamaru yang populer dengan membawakan lagu chaiyya-chaiyya yang merupakan lagu India.
Namun dibandingkan dengan para pendahulunya tersebut, tampaknya Ayu Ting Ting akan lebih fenomenal dan bertahan lebih lama. Hal ini, menurut hemat penulis, karena sejumlah faktor pendukung.
Pertama, momentum yang didapat Ayu Ting Ting sangat tepat. Musik dangdut yang sebetulnya sangat populer di negeri, bahkan konon disebut musli asli tanah Melayu, belakangan ini sedang kalah pamor. Genre musik pop Melayu yang mendayu-dayu mulai mampu menggesernya. Dan paling terkini, demam boy band dan girl band tumbuh bak cendawan di musim hujan. Setiap acara musik di televisi baik live ataupun tunda selalu diramaikan oleh kehadiran mereka.
Oleh karena itu, ketika dangdut muncul di tangan Ayu Ting Ting seolah ada kerinduan yang begitu tinggi dari pencinta musik di tanah air. Apalagi irama dangdut yang dibawakan Ayu begitu riang dan easy listening sehingga orang mudah tergoda. Hal ini ditambah dengan penampilan Ayu yang lebih ngepop –dia sendiri penggemar group band korea—yang berbeda dengan umumnya para pedangdut wanita di negeri ini. Tak aneh kalau dalam sekejap Ayu mampu menjadi magnet yang sangat kuat daya tariknya.
Kedua, Ayu sebenarnya tidak bisa dibilang selebritis dadakan seperti Briptu Norman dan Sinta-Jojo. Ia telah cukup lama berkecimpung dalam dunia entertainment, bahkah sejak usia kanak-kanak. Lagu alamat palsu yang menghebohkan itupun sesungguhnya berasal dari album ajep-ajep yang dirilis sejak tahun 2007, artinya, ada selang waktu sekitar empat tahun untuk bisa mengangkat Ayu ke kancah musik dangdut secara nasional. Sebuah kurun waktu yang tidak bisa dibilang singkat, terutama jika dibandingkan dengan mereka-mereka yang hanya dengan “lima menit” di youtube langsung menikmati ketenaran.
Ketiga, sikap dan perilaku (attitude) Ayu juga tampaknya cukup mendukungnya untuk menjadi seorang penyanyi profesional. Dalam sejumlah penampilan, seperti wawancara dengan media massa, ia bisa menempatkan diri dengan baik dan memberikan jawaban-jawaban yang sepatutnya. Beberapa gesture tubuh yang diperlihatkannya juga cukup membuat orang respek. Tidak sedikit selebritis dadakan yang tidak mampu memperlihatkan sikap dan perilaku yang memadai.

Eksploitasi
Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki Ayu Ting Ting tersebut di atas, tidaklah mengherankan kalau ia akan terus menjadi “lahan empuk” pemberitaan media-media massa. Dalam konteks ini, memang terdapat hubungan yang saling menguntungkan (mutualisme simbiosis) antara Ayu dan media. Ayu semakin populer dan tentu saja berimbas pada pundi-pundi rupiahnya, sementara media tak pernah kekurangan bahan berita.
Namun, yang perlu dicermati juga adalah bahwa ketika pemberitaan tersebut dilakukan secara masif dan terus menerus dalam derajat tertentu juga bisa membawa efek buruk. Yang paling dikhawatirkan adalah adanya kecenderungan eksploitasi, terutama oleh media infotainment terhadap Ayu. Indikatornya adalah bahwa segala hal yang terkait dengan kehidupan Ayu, sekalipun bersifat pribadi, dieskpos secara besar-besaran yang kerapkali tanpa pertimbangan nilai yang ketat.
Argumentasi pihak media infotainment bahwa pemberitaan berbagai sisi kehidupan artis tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban publik dari yang bersangkutan tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Sebab, pertanggungjawaban publik artis sebenarnya terkait dengan karir profesionalnya. Kalau dia seorang penyanyi, maka karir kepenyanyiannyalah yang harus dimintakan pertanggungjawaban publiknya, demikian pula kalau dia seorang aktor, dan begitu seterusnya.
Sayangnya, kecenderungan media-media infotainment di tanah air justeru tidak memegang teguh prinsip tersebut. Mereka, sebagai jurnalis, seolah bebas mengungkapkan apa saja sisi kehidupan artis entah bersifat pribadi ataupun publik. Inilah watak eksploitatif media yang paling kentara, sehingga tidak sedikit memakan “korban” sejumlah artis tanah air.
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa betapapun tarikan komodifikasi begitu kuat dalam suatu pemberitaan, seperti halnya kasus Ayu Ting Ting, namun pihak media juga seyogianya mampu memberikan pengereman. Tidak terlalu mengumbar atau mengeksploitasi habis-habisan. Selain bisa berpengaruh buruk pada sumber berita, khalayak juga akan merasakan kejenuhan, yang pada gilirannya pihak media akan merasakan pula akibatnya.

*Penulis, Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Rabu, 05 Oktober 2011

Membubarkan atau Mendorong KPK (Harian Jurnal Nasional Rabu 5 Oktober 2011)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini tampaknya kerap mendapatkan bantu sandungan dalam menjalankan tugasnya. Selain masalah kriminalisasi yang sempat menderanya beberapa waktu yang lalu, kini lembaga tersebut menghadapi isu pembubaran. Hal ini terungkap dalam rapat konsultasi pimpinan DPR dengan pimpinan Kepolisian, KPK dan Kejaksaan Agung pada Senin 3 Oktober kemarin. Ketika itu, Fahri Hamzah, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melontarkan isu pembubaran KPK.
Argumentasi yang disajikan Fahri adalah bahwa KPK sejak didirikan telah menjadi lembaga superbody. Padahal menurutnya, dalam upaya membangun negara demokrasi tidak boleh ada konsep lembaga superbody. Agaknya bukan kali ini saja Fahri melemparkan isu pembubaran KPK tersebut ke tengah publik. Dalam sejumlah diskusi publik baik langsung maupun melalui media massa Fahri memang kerap menyentil KPK secara sinis sebagai lembaga yang terlalu jauh melampaui kewenangan yang seharusnya.



Implikasi Politik
Tak pelak lagi lontaran wacana pembubaran KPK oleh Fahri Hamzah yang notabene seorang anggota dewan menjadi isu publik yang kontroversial. Hal itu, disadari atau tidak, jelas akan membawa implikasi politik yang cukup serius, baik pada level individu maupun lembaga. Setidaknya, menurut hemat penulis, ada tiga implikasi politik yang patut dicermati.
Pertama, secara individu, wacana pembubaran KPK justeru akan menjadi bumerang bagi sang pengusung. Bukan tidak mungkin ia akan dikecam publik karena boleh jadi akan dipersepsikan sebagai orang yang berupaya menghalangi pemberantasan korupsi yang diemban KPK. Sebagai seorang politisi yang lahir pada era reformasi, tentu ia akan dianggap sebagai ironi.
Realitas ini bahkan bisa menjadi penahbis dari hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada 5-10 September 2011. Menurut survei tersebut, politisi reformasi ternyata lebih buruk daripada politisi Orde Baru. Salah satu faktor buruknya citra politisi reformasi adalah banyak yang terlibat dalam kasus korupsi berjamaah. Maka, kalau ada salah seorang politisi reformasi yang seolah menjadi penghalang upaya pemberantasan korupsi, jelas hal itu kian memperburuk citra tersebut.
Kedua, secara kelembagaan, wacana pembubaran KPK oleh Fahri Hamzah sangat mungkin berdampak pada partainya, PKS. Karena posisinya sebagai salah seorang elite partai, bukan tidak mungkin publik akan menduga bahwa suaranya adalah suara partai, meskipun hal itu segera dibantah oleh PKS. Jika dugaan tersebut terus menguat, PKS akan mendapatakan getahnya, apalagi partai ini dikenal dengan slogannya “Bersih, Peduli dan Profesional.”
Posisi Fahri sebagai anggota DPR tentu juga akan berimbas pada citra lembaga ini. Apalagi sebelum rapat konsultasi, terjadi “perang dingin” antara DPR-KPK terkait dengan masalah Badan Anggaran (Banggar) DPR. KPK sampai dua kali menolak menghadiri undangan DPR karena acara tersebut akan dihadiri pula oleh anggota banggar, padahal mereka sedang menjadi saksi dalam kasus suap di kemenakertrans. KPK baru siap hadir ketika Banggar DPR tidak dilibatkan dalam acara tersebut.
Ketiga, yang paling mengkhawatirkan adalah jika lontaran Fahri tersebut justeru menjadi semacam sinyal rivalitas antar lembaga negara yang dibalut motif balas dendam. Sebagaimana diketahui, banyak anggota dewan, termasuk dari fraksi Fahri, yang telah menjadi terdakwa, sebagian bahkan telah menikmati “hotel prodeo” karena upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Sementara DPR alih-alih ikut menjadi penggerak upaya pemberantasan korupsi, justeru kerap menjadi bagian pelaku korupsi.

Mendorong KPK
KPK sebagai pengemban amanah UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesungguhnya dibentuk sebagai lembaga yang diharapkan berada di garis depan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun sebenarnya, lembaga ini juga tetap harus berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lain seperti kepolisian dan kejaksaan agung yang secara formal mengemban tugas tersebut. Hal ini, misalnya, terlihat di butir pertama dari tugas KPK, yakni “Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.”
Bahwa KPK diberikan kewenangan penyidikan bahkan penyadapan seperti halnya kepolisian dan kejaksaan agung, menurut hemat penulis, tidak perlu dipersoalkan apalagi dicap sebagai lembaga superbody. Sebab, tanpa kewenangan tersebut sulit bagi lembaga yang diharapkan mampu mengungkap berbagai korupsi dalam melakukan tugasnya. Sementara citra kepolisian dan kejaksaan agung sendiri sangat buruk di mata masyarakat, padahal kedua lembaga itulah yang seharusnya pelaksana utamanya.
Oleh karena itu, alih-alih membubarkan KPK, justeru yang lebih elegan bagi kalangan DPR adalah mendorong lembaga pemberantasan korupsi tersebut untuk lebih berani mengungkapkan berbagai kasus korupsi terutama yang kelas kakap. Mega skandal Bank Century, kasus pengemplangan pajak, lumpur Lapindo dan lain-lain adalah di antara kasus korupsi besar yang seolah-olah hilang tak tentu rimbanya.
KPK juga harus didorong untuk mampu memperlihatkan independensinya di tengah pusaran beragam kepentingan politik. Ungkapan Ketua KPK, Busyro Muqoddas, bahwa KPK tidak dapat diintervensi kepentingan partai besar, sedang, kecil atau kumpulan partai kecil harus mampu dibuktikan di hadapan publik.
Terlepas dari plus-minus yang telah dilakukan KPK selama ini, sebagai publik tentu kita masih berharap bahwa lembaga ini harus terus menjalankan tugas mulianya, memberantas tindak pidana korupsi di republik ini. Apalagi dari sejumlah survei disebutkan bahwa saat ini publik masih memercayai kredibilitas KPK apalagi jika dibandingkan dengan lembaga DPR.
Labelling sebagai lembaga superbody seyogianya tidak menjadi halangan bagi KPK untuk menjalankan tugasnya. Bagaimanapun dalam situasi darurat seperti pada masa transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia, keberadaan lembaga tersebut bisa dimaklumi, demi untuk kepentingan yang lebih besar. Sebab, musuh utama negeri ini adalah korupsi, dan korupsi merupakan extraordinary crime. Maka, sangat pantas kalau yang menanganinya lembaga extrordinary juga.
Tentu saja, kalau situasi sosial-politik telah berubah di mana Indonesia menapaki era demokrasi yang sebenarnya, maka kehadiran lembaga semacam KPK boleh jadi tidak diperlukan lagi. Namun, agaknya untuk menapak ke arah sana masih memerlukan perjalanan yang panjang dan berliku. Maka, biarkanlah dulu KPK “menikmati” hak-hak superiornya untuk menjalankan tugas mulianya tersebut.

Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Polital Literacy Institute dan Dosen Ilmu Politik FSH UIN Jakarta.