Rabu, 07 April 2010

Pencalonan Artis dan Banalitas Politik

Dimuat di Analisis Politik Harian Pikiran Rakyat, Senin 05 April 2010

Baru-baru ini pemberitaan tentang pencalonan sejumlah artis untuk menjadi kepala daerah cukup marak. Nama Julia Perez (Jupe), misalnya, kini ramai diperbincangkan di media massa baik cetak maupun elektronik setelah menyatakan kesediaannya atas pinangan sejumlah partai politik untuk menjadi calon bupati di daerah Pacitan, Jawa Timur. Sebelumnya artis-artis lain, seperti Sarah Azhari dan Cici Paramida sempat disebut-sebut akan meramaikan bursa pencalonan di daerah itu. Sederet artis lain juga pernah diisukan telah dipinang sejumlah parpol untuk menjadi bupati atau wakil bupati di beberapa kabupaten di Indonesia, antara lain, Ayu Azhari, Ikang Fauzi, Tukul Arwanan, Inul Daratista dan sebagainya.
Pertanyaan yang laik diajukan dalam konteks pencalonan sejumlah artis untuk menjadi kepala daerah adalah: apakah gejala tersebut merupakan sebuah bentuk keterbukaan politik sebagai konsekwensi demokrasi? Ataukah dalam derajat tertentu kecenderungan tersebut akan menodai proses demokrasi itu sendiri?

Banalitas Politik
Sebagian pihak mengatakan bahwa masuknya artis ke dalam dunia politik, merupakan sebuah bentuk banalitas politik. Banalitas secara harfiah menurut Kamus Webster, berarti sesuatu yang biasa dan remeh temeh (triviality). Dalam konteks ini, banalitas politik dapat dimaksudkan sebagai kehidupan atau ruang politik yang mementingkan permukaan, dangkal dan pada saat yang sama mengagungkan budaya popular.
Para artis yang terbiasa hidup dalam gemerlap dunia artifisial tampaknya berbanding lurus dengan banalitas politik. Semakin banyak artis yang memasuki dunia politik, maka semakin banal pulalah kehidupan politik di negeri ini. Celakanya partai-partai politik tampaknya berlomba-lomba untuk meminang para artis untuk dijadikan calon kepala daerah. Jika partai politik lebih mengutamakan orang-orang yang menggenggam popularitas daripada kader-kadernya sendiri, maka kian sempurnalah kecenderungan banalitas politik tersebut.
Gejala banalitas politik tersebut tampaknya kian menemukan momentumnya di negeri ini. Di kalangan masyarakat Indonesia, penerimaan terhadap kalangan artis juga masih cukup kuat. Hal ini disebabkan, antara lain karena corak masyarakat Indonesia yang bersifat kolektif (Deddy Mulyana: 1999). Dalam kultur masyarakat yang seperti itu pengidolaan terhadap seorang tokoh mudah sekali terjadi.
Dari sudut kepentingan jangka pendek, pencalonan artis untuk menjadi kepala daerah oleh partai politik memang menguntungkan partai bersangkutan. Di samping popularitas artis, dana partai juga akan relatif hemat karena para artis yang diusungnya selalu diminta kesiapan dananya untuk berkampanye.
Namun demikian, dari sudut kepentingan jangka panjang hal tersebut akan menimbulkan konsekwensi-konsekwensi politik yang cukup serius baik bagi partai politik itu sendiri maupun bagi kehidupan politik (demokrasi) secara umum di negeri ini.
Pertama, terkikisnya politisi-politisi ideolog dari partai politik dan panggung politik secara umum. Jika pencalonan artis untuk menjadi kepala daerah terus dilakukan oleh sejumlah partai politik, maka kader-kader partai yang notabene calon-calon politisi ideolog lambat laun akan bertumbangan. Kesempatan mereka untuk tampil sebagai pemimpin akan terebut oleh politisi-politisi karbitan tersebut. Fenomena ini dapat dikatakan juga sebagai bentuk kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi.
Kedua, Fenomena itu memperlihatkan bahwa beberapa partai politik di Indonesia kian mengalami disorientasi. Nilai-nilai idealitas politik agaknya kian jauh dari mereka dan digantikan oleh nilai-nilai pragmatis. Kilauan popularitas dan gizi yang menggiurkan dari para artis telah memabukkan mereka.
Memang orang dapat berkilah bahwa demokrasi memungkinkan semua orang untuk masuk ke dalam ranah politik tanpa terkecuali, termasuk artis. Namun, yang tak boleh dilupakan juga adalah bahwa demokrasi juga mesti berlandaskan pada aturan main (rule of game), antara lain kualitas individu yang memadai untuk menjadi seorang pelayan publik. Inilah yang sulit dipenuhi para artis, setidaknya untuk saat ini.

*Penulis, kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.