Minggu, 11 Oktober 2009

Dilema Sikap Politik Golkar

Dimuat di Harian Koran Jakarta, Senin, 12-10-09

Sebagaimana telah diprediksikan banyak kalangan Aburizal Bakrie (Ical) akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang baru menggantikan Jusuf Kalla (JK) pada Musyawarah Nasional (Munas) VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, dari 5 -8 Oktober. Perbedan perolehan suaranya dengan Surya Paloh (SP) sebenarnya tidak terpaut terlalu jauh, yakni 296 untuk Ical dan 240 untuk SP, tetapi karena suara Ical melebihi 50%, maka pemilihan cukup dilakukan satu putaran saja.
Pertanyaan yang patut dikedepankan adalah bagaimana masa depan Golkar di bawah kepemimpinan Ical. Akankah partai beringin ini mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat paling tidak untuk masa lima tahun ke depan sehingga secara perlahan-lahan mampu bangkit dari keterpurukan, ataukah sebaliknya partai ini akan kian terperosok secara lebih mendalam dari sekarang?



Problem Pencitraan
Kemenangan Ical dalam perebutan kursi orang nomor satu di partai beringin ini tentu disambut gembira oleh para pendukungnya. Eforia kegembiraan begitu membahana di Hotel Labersa, tempat diselenggarakannya Munas sesaat setelah Ical dinyatakan sebagai pemenang. Namun, orang-orang Golkar seyogianya tidak berlebih-lebihan dalam menyambut kemenangan ini. Pasalnya, kemenangan Ical sesungguhnya menyisakan banyak problem yang jika tidak dikelola dengan baik justeru akan menjadi bumerang bagi Golkar. Antara lain adalah yang terkait dengan citra partai dan Ical secara personal.
Setidaknya ada beberapa hal yang patut diwaspadai terkait dengan citra tersebut. Pertama, kemenangan Ical secara gamblang mempertontonkan bahwa kecenderungan pragmatisme politik sangat dominan di tubuh Golkar. Sebagaimana diketahui bahwa Ical yang didukung oleh Akbar Tandjung (AT) dan Agung Laksono (AL), sehingga dikenal dengan Triple A, adalah kandidat yang menjanjikan Golkar akan tetap berada dekat dengan kekuasaan, atau tidak akan menjadikannya partai oposisi. Sesaat setelah dinyatakan menang, Ical kembali mengatakan hal tersebut. Bahkan saat ditanya jika ada kader Golkar yang ditarik ke dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, Ical mempersilahkannya tanpa harus mengundurkan diri dari kepengurusan DPP jika yang bersangkutan adalah pengurus.
Pernyataan ini memperlihatkan dengan jelas sikap politik Golkar di bawah kepemimpinan Ical paling tidak untuk lima tahun yang akan datang. Harapan publik bahwa partai ini bisa memainkan peran sebagai oposisi sehingga dapat mengawasi jalannya pemerintahan musnah sudah. Sayangnya inilah justeru yang akan mempuburuk citra Golkar di mata publik. Publik boleh jadi akan menilai bahwa partai beringin tidak pernah bisa lepas dari jaring kekuasaan dalam hal eksistensi diri. Ia seolah anak kecil yang tidak pernah bisa dewasa karena selalu tergantung pada ibunya. Citra seperti ini tentu sangat merugikan bagi Golkar di masa depan.
Kedua, politik uang (money politics). Pada Munas VIII di Pekanbaru, Riau kali ini aroma politik uang begitu menusuk. Secara terang-terangan para pendukung kandidat ketua umum mengakui bahwa memang uang berseliweran di hadapan mereka sebagai iming-iming untuk memilih seorang kandidat tertentu. Yuddy Chrisnandi, kandidat termuda dan diduga paling tidak “bergizi” mengatakan bahwa menjelang hari H, besaran harga satu suara berkisar antara 500 juta sampai 1 milyar. Dalam konteks ini, kemenangan Ical diduga sangat terkait dengan politik uang di atas.
Politik uang yang begitu gamblang dipertontonkan dalam Munas VIII tersebut sesungguhnya akan memperburuk citra Golkar di mata publik. Apalagi ada di antara para elite Golkar yang mengatakan bahwa politik uang tidak masalah seperti yang diungkapkan Muladi, salah seorang petinggi partai dan juga pendukung Ical. Sinyalemen ini tentu terasa sangat menyakitkan bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang justeru tengah menderita baik karena adanya musibah seperti di Padang, Sumatera Barat, maupun karena hidupnya memang berada di bawah garis kemiskinan. Uang sebanyak itu dihamburkan hanya untuk satu malam jelas sangat mencabik-cabik perasaan masyarakat. Jangan salahkan kalau mereka nanti antipati pada partai ini.
Ketiga, citra personal Ical. Citra Ical sendiri pada tahun-tahun terakhir ini tidak cukup bagus khususnya jika dikaitkan dengan kasus Lapindo meski para pendukungnya selalu mengatakan hal itu tidak berkaitan. Tetapi bagaimanapun publik sudah terlanjur mengetahui bahwa Ical bertanggungjawab terhadap kasus Lapindo. Apalagi ketika sebelum Munas Ical pernah berjanji ia akan menggelontorkan uang Rp. 1 triliun untuk kepentingan sekretariat Golkar dan operasional. Bagi para korban lumpur Lapindo kenyataan ini tentu terasa sangat menyakitkan karena untuk mendapatkan ganti rugi yang tidak seberapa saja mereka harus bersusah payah bahkan sebagian ada yang belum berhasil. Sementara orang yang dianggap paling bertanggungjawab begitu mudahnya menggelontorkan uang milyaran untuk kepentingannya sendiri.

Kerja Keras
Dari catatan di atas jelas Golkar di bawah kepemimpinan Ical harus bekerja ekstra keras jika ingin mendapatkan ciitra yang baik di mata rakyat. Janji Ical sebelum Munas bahwa Golkar akan mengedepankan berbagai program prorakyat harus benar-benar direalisasikan. Kalau tidak, tentu Golkar akan semakin ditinggalkan rakyat.
Sayangnya sikap politik Golkar yang memilih untuk tetap berdekatan dengan kekuasaan dalam derajat tentu akan menyulitkannya untuk menunjukkan citra kerakyatannnya itu. Saat pemerintahan SBY-Boediono mendapatkan apresiasi dari rakyat karena berbagai program kerakyatannya, sudah pasti yang akan mendapatkan keuntungan politik adalah Partai Demokrat yang notabene pengusung SBY. Sebaliknya saat pemerintah gagal, Golkar pun akan ikut kena getahnya sementara untuk melakukan kritik terhadap program tersebut sulit dilakukan karena ada kadernya di kabinet. Inilah dilema Golkar dengan sikap politiknya itu.

*Penulis adalah Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung.

Kepemimpinan Baru Partai Beringin

Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Jum'at, 09-10-09

Musyawarah Nasional (Munas) VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, 5-8 Oktober akhirnya menetapkan Aburizal Bakrie (Ical) sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang baru, menggantikan Jusuf Kalla (JK). Dengan perolehan suara di atas 50% yakni 296 suara dari total suara 536, Ical berhasil memenangi pemilihan ketua umum tersebut secara aklamasi.
Langkah ke depan
Persoalan yang menarik untuk dikemukakan adalah bagaimana langkah Golkar di bawah kepemimpinan Ical. Tentu ada banyak hal yang harus diselesaikan Golkar pascamunas yang sempat memanas itu. Pertama, konsolidasi internal partai. Semua pihak di dalam internal Golkar yang telah mengalami polarisasi karena terlibat aksi dukung-mendukung terhadap calon ketua umum sudah semestinya melupakan dan mengakhiri semua pertikaian yang telah terjadi. Persaingan sudah selesai dan yang tersisa adalah memberikan dukungan sepenuhnya kepada ketua umum terpilih. Dalam konteks ini diperlukan kearifan dari ketua umum terpilih untuk bersedia merangkul semua pihak, terutama yang berseberangan dengan dirinya.
Memang bukanlah tugas yang mudah bagi pimpinan baru Golkar untuk menyelesaikan sejumlah problem internal partai beringin ini karena konflik internal yang menderanya, bukan hanya terkait dengan saat munas, melainkan sudah berlangsung lama paling tidak sejak masa kepemimpinan Jusuf Kalla. Salah satu kekalahan Golkar baik dalam pemilu legislatif maupun presiden adalah adanya konflik internal tersebut. Oleh karena itu, masalah penyelesaian konflik internal tersebut harus dijadikan prioritas pertama.
Kedua, harmonisasi DPP dengan DPD baik di tingkat satu maupun dua. Salah satu kelemahan Golkar pada masa kepengurusan JK adalah kurang harmonisnya DPP dengan DPD-DPD. Hal ini antara lain diakibatkan jarangnya JK turun ke bawah mengunjungi DPD. Ini berbeda dengan masa kepengurusan Akbar Tandjung yang rajin sekali menyambangi para pengurus Golkar di daerah. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau pada masa Akbar Tandjung, soliditas antarpengurus partai di tubuh beringin begitu kuat, sementara pada masa JK hal yang sebaliknya yang terjadi. Masih segar dalam ingatan kita ketika Golkar mendeklarasikan JK yang berpasangan dengan Wiranto sebagai calon presiden, sejumlah pengurus DPD malah mengadakan pertemuan dengan Akbar Tandjung yang notabene pilihan mereka berseberangan dengan keputusan partai. Oleh karena itu, tugas Ical ke depan adalah harus bersedia dan sesering mungkin melakukan kunjungan ke pengurus-pengurus partai di daerah. Keberadaan Akbar Tandjung di kubu Ical tentu akan sangat membantu dalam hal ini.
Ketiga, program prorakyat. Di masa depan Golkar harus berusaha mengedepankan berbagai program yang memihak kepada rakyat atau yang berorientasi pada bagaimana menyejahterakan rakyat. Banyak pihak yang menilai bahwa Golkar sangat pragmatis sekaligus oportunis di mana kepentingan segelintir orang (elite partai) yang dikedepankan. Oleh karena itu, tugas Golkar ke depan adalah bagaimana merebut hati rakyat dengan program-program yang memang memihak kepada kepentingan mereka.
Problem
Sayangnya, ada sejumlah problem terkait dengan kepemimpinan baru Golkar di bawah nakhoda Ical yang salah-salah bisa menjadi bumerang bagi partai ini. Pertama, terkait dengan pilihan Ical untuk membawa Golkar berhubungan mesra dengan pemerintah atau dengan kata lain, menutup pintu Golkar untuk beroposisi.
Sikap politik Golkar ini sesungguhnya akan menjadi dilema bagi partai ini terutama ketika dikaitkan dengan tuntutan agar partai ini mengedepankan program-program prorakyat. Ketika misalnya pemerintahan SBY-Boediono meluncurkan program yang ternyata positif di mata rakyat, tentu saja yang akan mendapatkan keuntungan politik adalah Partai Demokrat yang mengusung SBY. Sebaliknya saat program itu dinilai antirakyat, Golkar justru akan kena getahnya sementara untuk melakukan kritik terhadap program tersebut sulit dilakukan karena ada kadernya di kabinet.
Kedua, citra Ical di mata rakyat tidak cukup bagus khususnya jika dikaitkan dengan kasus Lapindo meski para pendukungnya selalu mengatakan hal itu tidak berkaitan. Akan tetapi, bagaimanapun publik sudah telanjur mengetahui bahwa Ical bertanggung jawab terhadap kasus Lapindo. Apalagi ketika sebelum munas, Ical pernah berjanji akan menggelontorkan uang Rp 1 triliun untuk kepentingan Sekretariat Golkar dan operasional. Banyak orang yang menilai begitu mudahnya Ical mengeluarkan uang untuk kepentingannya sementara untuk ganti rugi orang-orang yang telantar karena semburan lumpur sangat sulit. Tentu hal ini akan menjadi catatan tersendiri di benak rakyat yang sayangnya bukan catatan yang baik.
Dengan demikian, Golkar di bawah kepemimpinan Ical menyimpan banyak masalah yang di masa depan boleh jadi akan membuat Golkar kian terpuruk jika tidak diselesaikan secara serius oleh para pengurus baru. ***
Penulis, kandidat doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung dan Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute.